Beragam kegiatan CSR dari unit industri maupun opini CSR di Indonesia. Files ini dikompile guna literatur dan benchmarking kegiatan CSR, agar bisa mempositioning-kan kegiatan CSR secara berbeda, focus dan efektif. CSR bagaimanapun penting perannya bagi sustainability perusahaan karena dengan CSR perusahaan mempertimbangkan kepentingan stakeholder (pemegang kepentingan) dalam kebijakan operasionalnya.

Wednesday, June 27, 2007

“CSR Untungkan Perusahaan”


Kesadaran para pelaku bisnis dalam menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) relatif baru lahir, awal 1990. sementara di Barat, konsep mengenai tanggungjawab sosial bisnis sudah relatif lama. Masih banyak anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat buang-buang biaya. Padahal program CSR justru memberikan banyak keuntungan pada perusahaan. Redaksi http://www.masyarakatmandiri.org/ mewawancarai Fajar Nursahid Peneliti LP3ES, Anggota Komite Nasional untuk Penyusunan ISO 26000 (Guidance on Social Responsibility). Berikut kutipan lengkap hasil wawancara dengan Penulis Buku “Tanggungjawab Sosial BUMN”, yang akan dimuat secara bersambung.

Mengutip pendapat Konsultan Senior Quality Management System A. H. Mulyanto dalam seminar tentang CSR di Jakarta, Selasa (30/1/2007), tingkat kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia masih memprihatinkan. Pendapat Anda?Mungkin ada benarnya. Hal ini terkait dengan beberapa sebab. Pertama, kesadaran para pelaku bisnis untuk dapat bertanggungjawab secara sosial ini relatif baru lahir awal 1990-an, setelah mereka menyadari bahwa memperhatikan lingkungan sosial dan masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak dalam bisnis, dan oleh karena itu harus diintegrasikan dalam manajemen. Sementara di Barat, konsep mengenai tanggungjawab sosial bisnis sudah relatif lama. Peter Drucker, misalnya, awal tahun 1970-an sudah mengintrodusir wacana keterlibatan dunia bisnis dalam permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan, wabah, bencana alam, dan sebagainya. Kedua, masih banyak anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat “cost-centre” alias buang-buang biaya; bukannya dipahami sebagai “investment center.” Padahal, perhatian perusahaan terhadap lingkungan sosialnya mestinya harus dipahami sebagai investasi jangka panjang. Saya kira banyak contoh perusahaan-perusahaan yang justru harus rugi atau keluar biaya lebih banyak lagi –karena demo masyarakat, karyawan mogok, dan sebagainya yang mengakibatkan proses produksi terhenti, akibat mereka abai terhadap aspek sosial ini. Ketiga, ini masih berhubungan dengan dengan faktor kedua, situasi ekonomi biaya tinggi yang terjadi di Indonesia –misalnya karena banyaknya pungli, korupsi, dan sejenisnya; menyebabkan perusahaan tidak mau lagi dipusingkan dengan persoalan “biaya” tambahan untuk merespon berbagai persoalan sosial di sekitar usahanya. Keempat, tidak ada insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang terbukti mempunyai praktik CSR yang baik. Padahal, insentif –misalnya berupa pengurangan pajak (tax deduction) bagi perusahaan yang memberikan donasi sosial, diyakini banyak pihak akan mendorong semakin masifnya praktik CSR di Indonesia.

Ada hasil riset yang mendukung pendapat tentang tingkat aktivitas CSR di Indonesia? Ada. Dewasa ini terdapat sejumlah lembaga yang sangat concern terhadap upaya-upaya peningkatan CSR di Indonesia seperti PIRAC, Indonesia Business Links (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), Business Watch Indonesia (BWI), dan lain-lain. Riset tentang CSR merupakan salah satu aktivitas yang jamak mereka lakukan. Studi PIRAC tahun 2003 terhadap 226 perusahaan di 10 Kota Besar di Indonesia, misalnya, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata per tahun sumbangan perusahaan nasional dan lokal masing-masing sebesar Rp 45 juta dan Rp 16 juta. Angka ini masih jauh di bawah perusahaan-perusahaan multinasional yang mencapai Rp 236 juta per tahun. Studi ini juga menghasilkan temuan bahwa 37% responden menyatakan secara tegas akan menaikkan jumlah sumbangannya jika ada kebijakan pengurangan pajak (tax deduction) oleh pemerintah atas sumbangan sosial mereka kepada masyarakat. Jadi, saya kira, ini mewakili trend CSR di Indonesia dewasa ini.
Sebagai perbandingan, bagaimana implementasi CSR di negara lain? Yang paling signifikan berbeda mungkin terkait dengan regulasi perpajakan. Di negara-negara maju, ada mekanisme insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang mengalokasikan dananya ke masyarakat. Sehingga semakin mendorong bagi perusahaan-perusahan untuk berkontribusi secara sosial dan memberikan donasi ke masyarakat karena dengan begitu pajak mereka akan kurangi. Di Asia, Filipina, mereka mengenal hal serupa. Mirip dengan peraturan mengenai UU Zakat di Indonesia, pengurangan pajak –kendati secara terbatas (limited deductibility) dapat diberikan bagi individu atau lembaga penyumbang. Aturannya, pengurangan tersebut tidak lebih dari 10% bagi donatur individu dan 5% bagi donatur perusahaan (corporate donor).

Di Filipina juga ada lembaga yang disebut PBSP (Philippine Bussines for Social Progress). Ini merupakan salah satu cerminan bentuk kongkrit kontribusi perusahaan-perusahaan di Filipina dalam menyediakan sumber pendanaan bagi LSM dan mengatasi berbagai persoalan sosial masyarakat. Lembaga ini didirikan pada tahun 1970 oleh 49 perusahaan untuk melaksanakan komitmen mereka terhadap pembangunan sosial Filipina. Pendirian asosiasi ini dimaksudkan guna mengumpulkan sumberdaya dari perusahaan-perusahaan strategis yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung program yang mendorong ke arah kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta pertumbuhan ekonomi di Filipina. Saat ini, PBSP telah memiliki 179 anggota yang terdiri dari perusahaan lokal dan multinasional seperti San Miguel Corporation, Shell, IBM Philippine, dan lain-lain.

Di Indonesia memang sudah ada beberapa asosiasi bisnis dan perusahaan, tetapi masih belum sejauh itu visi dan misinya. Ada inisiatif seperti yang dilakukan oleh IBL, CFCD dan mungkin yang lainnya, tetapi masih bersifat parsial. Belum terintegrasi, tersistem dan tergabung dalam ikatan komitmen yang solid. Ada juga praktik-praktif CSR yang relatif maju yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Rio Tinto, Citybank PeKA, Yayasan Sahabat Aqua, Yayasan Sampoerna, dan sebagainya. Di BUMN pun, program serupa pun dijalankan sebagai wujud kepatuhan (complience) terhadap Kepmen No. Kep-236/MBU/2003 dengan membentuk divisi khusus yang disebut PKBL untuk menangani Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Tapi ya itu.. sekali lagi, masih bersifat parsial. Mungkin dibutuhkan kerangka hukum yang luas untuk menampung berbagai inisiatif ini dapat berjalan sinergis.

Keuntungan apa saja sebenarnya yang bisa didapat oleh perusahaan dengan penerapan CSR? Benarkah berpengaruh pada peningkatan performa finansialnya, serta menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat sehingga produk mereka selalu dicari konsumen?Banyak sekali keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan penerapan CSR. Keuntungan yang paling mendasar adalah menyangkut stabilitas usaha itu sendiri. Tanpa perhatian yang memadai terhadap lingkungan sosial, mustahil perusahaan dapat beroperasi dengan lancar. Sebagai contoh, perusahaan tambang yang beroperasi di sebuah kawasan. Jika dia tidak bertanggungjawab terhadap pencemaran yang ditimbulkan, tidak memberikan akses lapangan kerja bagi masyarakat setempat, tidak menyediakan berbagai fasilitas sosial kepada masyarakat, dan sejenisnya; maka sulit dibayangkan perusahaan ini dapat beroperasi dengan lancar.

Memang CSR tidak memberikan dampak finansial secara seketika, tetapi harus diyakini bahwa CSR mampu meningkatkan performa bisnis dalam jangka panjang. Perusahaan yang mempunyai legitimasi secara sosial, dengan sendirinya akan terkatrol imagenya. Kita tahu, image merupakan hal yang sangat penting bagi bisnis. Sekali image hancur, maka akan sulit membangunnya lagi dari awal. Dalam situasi masyarakat konsumen yang kritis, ini penting. Saya fikir, perlu juga men-track praktik bisnis perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kalau ada diantara mereka yang tidak aware terhadap tanggungjawab sosial, kita perlu publikasikan dan kita kampanyekan ramai-ramai supaya masyarakat boikot produk dia... Untuk pasar seperti masyarakat Indonesia, ini memang belum terjadi. Tapi kesadaran masyarakat harus dibangun mulai sekarang, supaya mereka menjadi konsumen yang kritis.

Fajar Nursahid. Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Lahir di Kendal, 14 Desember 1973. Menyelesaikan studi S1 Komunikasi dari Universitas Diponegoro tahun 1999, kemudian atas beasiswa IIEF-Ford Foundation melanjutkan studi S2 di Magister Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, lulus dengan predikat cumlaude tahun 2005. Sejak usia SMA menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), antara lain menjabat Ketua Umum PW PII Jawa Tengah (1996-1998) dan Sekretaris Jenderal PB PII (2000-2002); menjadi Redaktur Pelaksana Koran Kampus “Manunggal” Universitas Diponegoro (1994-1995 dan 1995-1996); serta Litbang Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang (1996-1999). Pernah menjadi delegasi Indonesia pada workshop “Global Experience Sharing on Social Responsibility” dan Pertemuan “ISO Working Group on Social Responsibility” di Bangkok, 2005. Menulis buku “Tanggungjawab Sosial BUMN” diterbitkan oleh PIRAC, 2006. Selain itu aktif menulis makalah untuk berbagai seminar dan diskusi, serta terlibat dalam penelitian-penelitian sosial dan ekonomi –khususnya berkaitan dengan isu penguatan kelembagaan masyarakat sipil, filantropi sosial, dan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

No comments: