Beragam kegiatan CSR dari unit industri maupun opini CSR di Indonesia. Files ini dikompile guna literatur dan benchmarking kegiatan CSR, agar bisa mempositioning-kan kegiatan CSR secara berbeda, focus dan efektif. CSR bagaimanapun penting perannya bagi sustainability perusahaan karena dengan CSR perusahaan mempertimbangkan kepentingan stakeholder (pemegang kepentingan) dalam kebijakan operasionalnya.

Wednesday, June 27, 2007

CSR Sebagai Strategi Perusahaan

February 16, 2007

CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan
Filed under: Innovation, Strategy, Social Entrepreneurship, Moral & Ethics — itpin @ 7:33 am
Kesadaran perusahaan bahwa nasib dirinya tergantung juga pada kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar memang meningkat akhir-akhir ini. Karena itu, kita juga bisa lebih sering membaca berita tentang meningkatnya upaya-upaya yang termasuk sebagai corporate social responsibility (CSR). Di dalam negeri kita bisa melihat upaya-upaya seperti Telkom yang menyumbangkan komputer dan membantu koneksi Internet di desa-desa, Sampoerna yang rajin memberikan beasiswa, atau Unilever yang melalui produk Lifebouy membantu pembangunan kakus yang higenis di desa-desa. Siapapun yang melakukan hal-hal tersebut, dan apapun yang dilakukan mereka, kita tentu layak memberi mereka pujian. Kita juga berharap lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang mengikuti jejak mereka.
Sayangnya, kebanyakan perusahaan masih melihat CSR sebagai bagian dari biaya atau tindakan reaktif untuk mengantisipasi penolakan masyarakat dan lingkungan. Beberapa perusahaan memang mampu mengangkat status CSR ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building dan peningkatan corporate image. Namun upaya-upaya CSR tersebut masih jarang yang dijadikan sebagai bagian dari perencanaan strategis perusahaan.

CSR dan strategi perusahaan? Kedengarannya kedua hal tersebut saling bertentangan. Milton Friedman, sang ekonom pemenang Hadiah Nobel, malah mencibir upaya-upaya untuk menjadikan perusahaan sebagai alat untuk tujuan sosial. Tujuan korporasi, menurut beliau, hanyalah menghasilkan keuntungan ekonomis buat para pemegang saham. Tentu saja pendapat Friedman tersebut dianggap semakin ketinggalan jaman. Walau demikian, menciptakan sinergi antara CSR dan strategi perusahaan bukanlah sesuatu yang lazim juga.
Untung saja beberapa perusahaan besar dan kalangan akademis, termasuk Michael Porter, Clayton Christensen, dan Rosabeth Moss Kanter (ketiganya dari Harvard Business School) telah berhasil membuktikan program-program CSR yang disinergikan dengan strategi perusahaan akan memberikan dampak yang jauh lebih besar kepada masyarakat dan perusahaan itu sendiri dibanding upaya-upaya CSR yang ala kadarnya. Menurut mereka, hanya dengan menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi perusahaan, program-program CSR tersebut bisa langgeng. Karena strategi perusahaan terkait erat dengan program CSR, perusahaan tidak akan menghilangkan program CSR tersebut meski dilanda krisis, kecuali ingin merubah strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus-kasus CSR pada umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program CSR akan dipotong terlebih dahulu.

Salah satu contoh kasus yang sangat menarik adalah Nestle yang membantu para peternak sapi di India. Sebelum Nestle masuk ke India, para peternak yang sulit memperoleh akses ke saluran air bersih, tanah-tanah yang subur, dan infrastruktur lainnya yang mendukung harus puas hidup dengan sapi-sapi kurus dan berumur pendek. Ketika Nestle masuk ke India, perusahaan ini dengan cepat menyadari untuk mendapatkan pasokan susu murni yang cukup, mereka harus membantu para peternak tersebut. Maka, diluncurkanlah program CSR besar-besaran.

Nestle mendirikan pusat-pusat penyimpanan susu dengan mesin pendingin di beberapa tempat. Selain itu, secara berkala, mobil Nestle yang membawa para dokter hewan, ahli gizi, ahli pertanian, dan ahli kualitas datang mengunjungi para peternak. Bantuan finansial dan teknis juga diberikan untuk membantu para peternak menggali sumur-sumur dan memperbaiki sistem irigasi. Hasilnya? Ketika Nestle pertama kali meluncurkan program ini, hanya 180 peternak lokal yang ikut. Sekarang Nestle harus menangani sekitar 75.000 peternak. Produksi susu per peternak meningkat 50 kali lipat, dan taraf hidup para peternak tentu ikut meningkat jauh.

Contoh lainnya adalah grup hotel Marriott International yang memberikan pelatihan kerja kepada para pengangguran kelas berat. Program ini dijalankan di belasan kota di US. Marriott menjanjikan para peserta pelatihan pekerjaan tetap bila mereka berhasil lulus. Program ini ternyata bukan saja membantu para pengangguran tersebut dan masyarakat setempat, tetapi juga Marriott. Kenapa? Ternyata para pengangguran yang diterima kerja tersebut lebih loyal terhadap perusahaan.

Perusahaan-perusahaan teknologi informasi seperti Cisco dan Microsoft juga tidak ketinggalan. Cisco memberikan pelatihan gratis pada mereka-mereka yang tidak mampu tetapi berbakat untuk memperoleh sertifikasi dari Cisco. Microsoft membantu sekolah-sekolah di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam perancangan kurikulum pelajaran komputer. Ketika para siswa-siswa tersebut lulus, ketrampilan mereka bisa dipakai untuk mendukung produk-produk yang dihasilkan kedua perusahaan tersebut.

Itulah beberapa contoh perusahaan yang berhasil dalam menyelaraskan strategi dan program CSR mereka. Mereka tidak saja berhasil membantu lingkungan dan masyarakat setempat, namun juga perusahaan itu sendiri. Sinergi antara keduanya ternyata sangat mungkin dilakukan. Bila kita ingin menyelesaikan permasalahan sosial, mungkin kunci utamanya justru terletak pada keterlibatan sektor korporasi karena saat ini kekuatan korporasi telah melebihi kekuatan pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya. Yang menjadi masalah utama adalah sulitnya melakukan perubahan cara pikir yang selama ini melihat tujuan perusahaan dan CSR saling bertolak belakang.

Siapkah perusahaan Anda menjawab tantangan ini?

CSR LEARNING FORUM – 2ND WORKSHOP

Hari, Tanggal : Kamis, 3 Mei 2007
Waktu : 12.30 – 17.00 wib
Tempat : Jade Room, Hotel Nikko – Jakarta
Attendance List : (terlampir)
Narasumber : 1. Fachry Mohamad, CEO SmartFM
2. Mas Achmad Daniri, Mirror Committee Social
Responsibility
Moderator : St. Notobudhiharjo, Indonesia Business Links
Fasilitator : 1. Bayu Aji Wicaksono, Daya Dimensi Indonesia
2. Triatmoko , Daya Dimensi Indonesia

I. Pembukaan:
Learning Forum kedua dibuka oleh Yanti Koestoer, Direktur Eksekutif Indonesia Business
Links (IBL). Dalam pidato pembukaannya, Yanti menyatakan bahwa latar belakang
kegiatan ini merupakan rangkaian program kajian bersama yang diadakan 10 kali atas
dukungan Ford Foundation dan perusahaan-perusahaan mitra IBL. Dalam
kesempatannya mendukung acara tersebut, ke-41 mitra IBL berkesempatan juga untuk
mensosialisasikan kegiatan CSRnya. Dikatakan oleh Yanti bahwa mitra IBL yang peduli
dengan kehidupan sosial melalui program CSR tidak bicara hanya mengenai donasi saja
tapi sesuatu yang terkoordinasi dengan baik melalui praktek-praktek yang sehat, yang
dikenal sebagai ungkapan ‘bisnis dengan hati’.

Berkaitan dengan topik forum tersebut, yaitu mengadopsi ’CEO Values’ dan
menurunkannya kedalam ’policy settings’, Yanti mengatakan bahwa penting meninjau
definisi CSR itu apa untuk menurunkannya kedalam sebuah policy. CSR tidak sekedar
charity, namun ada elemen-elemen lain yang misalnya mencakup environment dan
sosial justice. Untuk itulah diadakan Learning Forum ini agar terjadi interaksi antara
sesama praktisi CSR dalam memberikan referensi yang akurat bagi kalangan bisnis dan
masyarakat.

Akhirnya dokumentasi dari serial Learning Forum ini akan dibukukan kedalam 4 buku
dibidang ’environment’, ’human capital’, ’strengthening local economies’ and ’social
cohesion’. Buku pertama dari rangkaian 4 buku tersebut telah selesai dicetak; berjudul
”Membumikan Bisnis Berkelanjutan”.

II. Sesi Panel:
Sesi Panel dimoderatori oleh Stephanus Notobudhiharjo, Deputi Direktur Indonesia
Business Links. Noto mengawali dengan memperkenalkan sekaligus menceritakan
pengalaman kedua pembicara, yaitu Fachry Mohamad yang merupakan CEO SmartFM
Network sekaligus juga Presiden Direktur PT Polyama Belleprima dan Anggota

2
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia. Diterangkan bahwa Fachry akan
menjelaskan apa dan bagaimana ‘policy settings’ di SmartFM Network dapat
dilaksanakan dalam praktek CSR. Mas Achmad Daniri adalah Ketua National Mirror
Committee Social Responsibility (NMCSR), Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance,
Ketua Komite Tetap Good Corporate Governance di KADIN dan Ketua Focus Group Study
Governance dan Akuntansi di ISEI, sekaligus juga merupakan Wakil Direktur Panasonic
Manufacturing Indonesia. Mas Achmad Daniri juga merupakan penulis buku “Konsep
dan Penerapan ‘Good Corporate Governance’ dalam konteks Indonesia.” Diterangkan
bahwa Mas Achmad Daniri akan menjelaskan mengenai ISO 26000.

a. Presentasi I: Fachry Mohamad, CEO SmartFM
Fachry mengawali presentasinya dengan menjelaskan latar belakangnya membuka
SmartFM Network. Dari rakyat yang menurutnya sudah begitu ingin menikmati hasil
tapi lupa berproduksi sampai bagaimana sebuah bisnis dapat melakukan perbuatan yang
baik bagi masyarakatnya, maka Fachry mendasari pembukaan radio SmartFM diluar dari
hanya perkiraan-perkiraan bisnis. SmartFM pertama kali dibuka di luar Jakarta, yaitu
Menado kemudian ke Banjarmasin dan dilanjutkan ke Palembang, Balikpapan dan Jawa.
Semua ini dilakukan dengan niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi proses
pemintaran/pembelajaran rakyat Indonesia. Menurut Fachry di saat memberi yang
terbaik, mudah-mudahan mendapatkan yang terbaik, sehingga ungkapan bisnis adalah
’good things take times’ dan bisnis merupakan pekerjaan yang memberikan kehidupan
yang lebih baik bagi orang lain, menjadi motto Fachry menjalankan bisnis. Menurut
Fachry bangsa kita harus menjadi bangsa pembelajar dan media harus bisa menjadi
mediator dari proses pembelajaran ini, sehingga dalam menyampaikan beritapun media
harus arif dan bijaksana melalui pengungkapan fakta dan data yang mendukungnya.
Radio adalah wadah superior yang sering ditangani oleh kelompok inferior. Sedangkan
frekuensi adalah ranah publik dan dipinjamkan kepada pengusaha radio makanya harus
dikembalikan dengan baik juga ke publik. Tapi sayangnya frekuensi diperjualbelikan,
walaupun keadaan ini juga disebabkan oleh UU PT yang tidak mengatur akan frekuensi
sehingga jika PT diakuisisi, frekuensi juga ikut terjual.

Menurut Fachry, Stakeholders kehidupan seseorang adalah Tuhan, manusia dan alam,
dimana ketiganya memiliki eksistensi hak dalam hidup kita. Oleh karena itu bisnis,
sosial dan ibadah adalah suatu senyawa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan
jika dilakukan secara sinergi maka akan menghasilkan bisnis yang diberkahi dan
berkelanjutan.

Filosofi SmartFM yang tertuang dalam tagline ”Spirit of Indonesia” adalah sifat dan
semangat memberikan segala sesuatu yang terbaik bagi Indonesia melalui kapasitasnya
sebagai radio swasta niaga yang menjadi media informasi yang baik, benar dan
membelajarkan. Disamping itu menjadi penghubung berbagai pihak yang ingin
memajukan bangsa Indonesia melalui program-program yang mencerdaskan intelektual,
emosional dan spiritual.

SmartFM memiliki visi menjadi jaringan radio yang dapat menjangkau seluruh
Indonesia, berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dan menjadi inspirasi bagi
media lainnya. Sedangkan Misi SmartFM adalah bertindak profesional dan
bertanggungjawab dalam menjalankan amanahnya, memberikan value dan benefit bagi
kepentingan pembelajaran masyarakat, sekaligus menjadi perusahaan yang sehat
dengan tata kelola yang baik sehingga menjadi panutan bagi perusahaan media yang
bervisi sama. Dalam menjalankan visi dan misinya menjadi jaringan radio, SmartFM

3
membuka kesempatan bagi radio lain untuk mengambil program SmartFM namun radio
tersebut harus mempunyai visi dan misi yang sama, dan didalam radio tersebut harus
memiliki 60% program lokal. Menurut Fachry, Radio secara bisnis harus menganut
paham localwide bukanlah nationwide.
Prinsip-prinsip SmartFM adalah tidak hanya menjadi perusahaan yang meraih
keuntungan saja tanpa memperhatikan aspek sosialnya, karena menurut Fachry
kesuksesan perusahaan tidak dapat dinilai hanya dari pencapaian bisnis melainkan juga
kemampuan memberdayakan masyarakat disekitarnya. Menurut Fachry, Sinergisitas
Bisnis dan Sosial merupakan CSR perusahaan karena melalui pencapaian profit yang
sepantasnya melalui pengejawantahan visi, misi dan prinsip bisnis SmartFM maka pada
gilirannya nanti SmartFM akan menjadi perusahaan yang kuat dan bermanfaat bagi
masyarakat.

SmartFM sebagai media sosialisasi praktek CSR memberikan manfaat berupa wadah
pembelajaran dan penguatan CSR bagi masyarakat, menjadi mitra sinergik bagi
perusahaan-perusahaan yang melakukan praktek CSR dengan memberikan ruang
publikasi atas program-program CSR-nya maupun space iklan, dan sebagai mitra
advisor yang strategis dalam PR marketing suatu perusahaan. SmartFM juga
memberikan harga spesial bagi perusahaan yang ingin mempublikasikan praktek
CSRnya tapi dengan persyaratan perusahaan tersebut bukan perusahaan rokok dan
tidak bermasalah dengan lingkungan atau yang saat ini sedang dalam penanganan
hukum.
Radio merupakan salah satu media strategis untuk mempublikasikan praktek CSR jika di
kemas dengan baik sesuai dengan target audiensinya. CSR disebuah media
memberikan informasi, pencerahan dan merangsang masyarakat untuk mempunyai
kepedulian terhadap masalah sosial korporasi yang dapat mendatangkan apresiasi dan
partisipasi masyarakat disekitarnya.

Di SmartFM, sebuah berita yang dapat ’on-air’ dimulai dari Noise-data–informasiknowledge-
wisdom; jangan hanya berhenti di ’noise’ tapi sebisanya berhenti di ’wisdom’.
Kenyataanya yang sering terjadi di media ’noise’ tetap ’noise’ karena belum cukup data
pendukung tapi tetap ’on-air’. Di Smart FM menganut prinsip bahwa berita harus
menjadi kearifan bagi orang lain, mengurangi ketidakpastian dan menambah
pengetahuan.

SmartFM juga melakukan praktek CSR off-air seperti UKM, Smart Student, Klinik UKM,
dan seminar motivasi.
Presentasi diakhiri dengan kesimpulan oleh moderator bahwa SmartFM dalam
melakukan praktek CSR-nya menganut paham proses pemintaran dan kearifan.

b. Presentasi II: Mas Achmad Daniri, Chairman dan Maria D. Nurani, Expert -
Mirror Committee Social Responsibility
Mas Achmad Daniri mengawali presentasinya dengan menjelaskan apa itu National
Mirror Committee Social Responsibility (NMCSR), yaitu merupakan komite bayangan dari
ISO yang berada di tiap-tiap negara anggota ISO yang menggalang masukan dan
mensosialisasikan mengenai ISO 26000 di negaranya masing-masing. Forum inilah
yang menggalang masukan-masukan dari sumber-sumber yang relevan di Indonesia
yang akan dibawa ke forum di level berikutnya.

4
Daniri juga menceritakan pengalamannya sewaktu ikut dalam pemilihan wakil Gubenur
Banten, dimana salah satu agendanya adalah CSR. Pada saat itu jika terpilih maka akan
ada satu unit yang menangani kemitraan dengan pengusaha dan masyarakat sehingga
yang tahu CSR juga tidak hanya perusahaan tapi dari pemerintah pun harus memahami
dengan baik. Melalui unit ini dilakukan ’mapping’ permasalahan kebutuhan
masyarakatnya untuk diinformasikan kepada perusahaan-perusahaan. Daftar dari
proyek itu diserahkan kepada masing-masing perusahaan yang akan dikemas oleh
perusahaan sesuai kebutuhan perusahaan. CSR menurut Daniri adalah upaya
perusahaan untuk memberikan dampak (ekonomi, lingkungan dan sosial) positif bagi
masyarakat yang intinya terjadi pembangunan yang berkelanjutan. CSR bagi
perusahaan merupakan tantangan. Ibarat 2 mata pisau, maka secara internal praktek
CSR harus mengkaitkan program untuk keuntungan dan keberlanjutan yang dapat
memberikan image positif bagi perusahaan dan secara eksternal dapat menciptakan
manfaat positif bagi masyarakat. Menurut Daniri, jika praktek CSR tidak dilakukan
dalam kondisi yang ’win-win’ , maka perusahaan akan berubah menjadi lembaga
’charity’ dan ini tidak boleh terjadi karena perusahaan dan masyarakat harus tetap
’hidup’.

Dalam ISO 26000 ada 7 isu yang berkaitan satu sama lain dan tidak boleh memberikan
dampak negatif terhadap isu lainnya. Daniri memandang CSR sebagai potensi yang
besar karena jika dilakukan bersinergi dengan pemerintah dan lembaga sosial maka isu
misalnya mengenai pengentasan kemiskinan bukanlah suatu isu yang susah dan bisa
dicapai jika berintegrasi.

Presentasi dilanjutkan oleh Maria D. Nurani dengan menjelaskan lebih detail mengenai
ISO 26000.
ISO adalah lembaga nirlaba yang mengembangkan berbagai international standards.
Mereka dikenal puncaknya setelah meluncurkan ISO 9000. Keanggotan ISO
berkolaborasi dengan lembaga terkait isu yang akan di standardkan berupa Negara yang
diwakili oleh badan standar masing-masing. Indonesia diwakili oleh Badan Sertifikasi
Nasional (BSN).

ISO 26000 merupakan standar internasional yang memberikan ‘guidance’ atas tanggung
jawab sosial. ISO 26000 berbeda dari ISO lainnya karena ISO 26000 ini tidak
menyediakan standarisasi manajemen dan tidak memberikan sertifikat kepada pihak
ketiga. ‘Guidances’ dalam ISO ini tidak diperuntukkan hanya untuk perusahaan tapi juga
untuk badan usaha lainnya seperti yayasan, universitas, dan lainnya.
Cakupan dari ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasi-organisasi
menjalankan tanggung jawab sosialnya; memberikan ‘practical guidances’ yang
berhubungan dengan operasionalisasi tanggung jawab social; identifikasi dan pemilihan
stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan klaim mengenai tanggungjawab
sosial; untuk menekankan kepada hasil performansi dan peningkatannya; untuk
meningkatkan keyakinan dan kepuasan atas konsumen dan ‘stakeholders’ lainnya;
untuk menjadi konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan
standarisasi ISO lainnya; tidak bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam
menjalankan tanggung jawab sosial oleh suatu organisasi; dan, mempromosikan
terminologi umum dalam lingkupan tanggung jawab sosial dan semakin memperluas
pengetahuan mengenai tanggung jawab sosial.

Yang mengembangkan ISO 26000 ini adalah ‘expert’ dari 6 kategori stakeholders, yaitu:
Konsumen, pemerintah, buruh, industri, LSM, dan servis/support/riset. Keanggotaan

5
dari ISO Working Group ini adalah ‘expert’ anggota ISO dalam bentuk badan nasional
standardisasi, juga organisasi yang disebut ‘liason organisation’. Organisasi
internasional yang relevan dapat mengajukan nama untuk menjadi ‘liason’. Komite yang
exist untuk ISO 26000 juga dapat mengajukan 2 representatives per-komite.
Tugas National Mirror Committee Social Responsibility (NMCSR) adalah membagi
dokumen dan mensosialisasikan sekaligus meminta input dari siapapun mengenai ISO
26000. Yang ingin memberikan masukan dapat menyampaikannya kepada para expert
di NMCSR.

Dalam ISO Working Group untuk tanggung jawab sosial ini sering dipertanyakan
mengenai ’balanced stakeholder’ seperti apa. ISO membuat representasi yang
seimbang di tiap negara dan ada ’task group’ yang membahas bagian tertentu dari draft
ISO 26000, kemudian juga ada yang dinamakan Twinning leadership dimana
anggotanya dari negara maju dan negara berkembang sehingga kepentingan masingmasing
Negara dapat diakomodasi. Keputusan juga dilakukan dengan konsensus
dimana jika ada dua pendapat yang bertentangan maka keduanya harus memberikan
argumen yang kuat dan jika sesuai dengan standard, sebisa mungkin diadopsi kedua
pendapat ini.

Saat ini NMCSR ada di stage 2 (penyusunan working draft ISO 26000. Ada tiga working
draft) 2 draft sudah dibahas dan satu lagi keluar akhir juli. Waktu di stage 2 ini
merupakan kesempatan terakhir bagi expert secara individual memberi komentar
sebelum masuk ke Komite draft dimana konsensus tersebut dilakukan oleh Badan
Sertifikasi Nasional setiap negara. Rencananya NMCSR akan mengadakan focus group
discussion per stakeholder tertentu (mis. perusahaan dengan perusahaan) untuk
membahas isu-isu yang penting dalam ISO 26000. Draft working group ketiga akan
dibahas pada november 2007 dan tahun 2008 akan membahas komite draft, dan
diharapkan selesai akhir tahun 2009.

Spesifikasi desain ISO 26000 antara lain terdiri dari ’Normative Reference’ yaitu untuk
memahami ISO secara normatif, ‘Terms and Definitions’ menjelaskan mengenai
terminologi kata, sedangkan SR context menjelaskan sejarah dan konteks tanggung
jawab sosial di masing-masing organisasi seperti apa. Yang masuk kedalam ‘guidance’
saat ini masih bernuansa bisnis karena yang memulai adalah bisnis, jadi dalam SR
context harus ‘applicable’ jika digunakan oleh non-perusahaan. Prinsip-prinsip dalam
ISO 26000 diidentifikasi kedalam prinsip umum, prinsip substansi menyangkut isu dan
prinsip operasional menyangkut prosesnya.

Ketujuh isu yang tercakup dalam ISO 26000 adalah isu dibidang lingkungan, hak asasi
manusia, ketenagakerjaan, tata kelola organisasi, konsumen, community
involvement/pengembangan sosial (kemungkinan akan diganti menjadi social
development), dan fair operating services. Mengapa isu ini digambarkan dalam suatu
lingkaran, karena jika salah satu isu saja dilakukan maka akan bolong. Dengan bentuk
ini maka semua isu harus dijalankan walaupun dengan tingkatan yang berbeda.
Definisi terakhir mengenai ISO 26000 yang dirumuskan pada saat pertemuan di Sydney
mengalami penajaman, yaitu: “Tanggung jawab sosial merupakan dampak dari
keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat dan lingkungannya melalui
prilaku yang transparan dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan ekspektasi dari stakeholdersnya,
sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma sikap, dan juga terintegrasi
kepada keseluruhan organisasi.”

6
Dalam Task Group (TG) membahas per-bab working draft, yaitu isu prinsip (TG 4),
implementasi (TG 5&6). Karena kita melihat kalau dipisah setelah di satukan tidak
sejalan maka kita satukan dengan disebut ‘core issue group’, yaitu isinya lintas TG yang
masing-masing membahas 4 isu (ada beberapa isu yang disatukan, yaitu isu tata kelola
organisasi & fair operating service, hak asasi manusia&ketenagakerjaan,
konsumen&pengembangan sosial). Tim ini telah bekerja setalah pertemuan di Sydney.
Hasil dari TG akan dibahas lebih lanjut di Issue Group.
Presentasi diakhiri dengan kesimpulan dari Notobudhiharjo selaku moderator yaitu agar
CSR dilakukan secara kondisi win-win agar berkelanjutan sekaligus semakin
dipahaminya apa dan bagaimana ISO 26000.

C. Tanya jawab:
T: CSR itu sebaiknya in-line dengan bisnis atau berbeda? (S. Wimbo Hardjito, Indosat).
J: Menurut pendapat saya, CSR itu harus melihat kebutuhan masyarakat dan bukan
dilihat dari sudut perusahaan. Kemudian kebutuhan tersebut dikemas sedemikian rupa
agar memberikan manfaat eksternal dan internal. (Mas Achmad Daniri).
Menurut saya setiap organisasi bertanggungjawab karena memberi dampak atas setiap
keputusan dan kegiatannya yang dilakukannya, jadi praktek CSR akan in-line dengan
kegiatannya. (Maria D. Nurani).

T: Kalau dilihat dari guidelines ISO 26000 tidak ada ratifikasi dan standarisasi
manajemen. Bagaimana meminta perusahaan untuk mau mengikuti peraturan tersebut
sedangkan peraturan yang ada ’legal binding’ saja kadang tidak dipatuhi. Apa strategi
yang dilakukan oleh NMCSR? (Dedi Nurfalaq, Indonesia Business Links).
J: Saya ingin menjelaskan dalam konteks pengalaman beberapa perusahaan. Masalah
ini merupakan masalah budaya perusahaan dimana prinsip-prinsip yang ada menjadi
’code of conduct’ dalam sebuah perusahaan. Bagaimana dapat diimplementasikan?
Pertama membangun partisipasi yang luas secara internal sehingga terjadi ownership
yang tinggi. Namun ownership saja tidak cukup, diperlukan ’vessel blower system’ yaitu
bagian yang menampung laporan untuk menjadi pengawas bagi lingkungan internal dan
eksternal. Semua perangkat ini harus aktif dan dapat dikaitkan dengan ’reward dan
punishment’ yang akan menghasilkan sebuah kultur dalam perusahaan. Kalau dilihat
sebagai NMCSR, tugasnya adalah menggalang masukan untuk dimasukkan menjadi
’guidelines’ dan mensosialisasikannya secara efektif ke organisasi sekaligus
mengembangkan monitoring agar tanggungjawab sosial tersebut berjalan dengan baik.
(Mas Achmad Daniri).
Memang ada juga pendapat yang menginginkan ISO 26000 ini di sertifikasi dan suatu
saat nanti akan di standardkan. Tapi saya pribadi melihat suatu saat bisa jadi nanti
akan di standarkan jika ada permintaan pasar. (Maria D. Nurani).

T: Apakah ada pengalaman dari Bapak-bapak sekalian yang dapat menjadi
pembelajaran kami sehingga CSR tidak hanya menjadi sebuah ‘trend’ dan mengubah
CSR hanya imej menjadi bentuk nyata? (Triatmoko, Daya Dimensi Indonesia)
J: Dari pengalaman saya, saya justru berangkat dari ketidakmengertian apa itu CSR.
Yang saya tahu saya dipinjami frekuensi yang merupakan ranah publik. Imbauan saya,
perusahaan-perusahaan besar tidak hanya melakukan ‘charity’ tapi mensponsori
program-program yang bagus untuk masyarakat untuk lebih berpikiran maju. Jadi
kalau ingin disebut perusahaan itu besar dan bonafid, CSR perlu dilakukan termasuk

7
juga membangun masyarakat agar lebih pintar, begitupun yang dilakukan oleh media.
(Fachry Mohamad).
Di Panasonic ada suatu program kombinasi dengan program pendidikan dari Diknas
(Paket belajar). Program itu ditambahkan ’Life Skill’ dari Panasonic. Panasonic
mempunyai PAS (Panasonic Authorized Certification), dimana jika PAS di kombinasikan
dengan program pendidikan didaerah tersebut maka akan membuat masyarakat
semakin mandiri misalnya dalam keterampilan seperti ‘maintenance spare parts’.
Dampak bagi masyarakatnya maka akan menambah tenaga kerja sedangkan dampak
bagi Panasonic adalah masyarakat akan mengingat produk2 panasonic. (Mas Achmad
Daniri).

Isu konsumen juga akan diusung dalam ISO 26000 tersebut walaupun tidak terlepas
dari 6 isu lainnya. Untuk itu NMCSR mengajak partner IBL untuk memberikan masukanmasukan
dalam FGD yang akan dilakukan oleh NMCSR nanti. (Timotheus Lesmana,
NMCSR)

III. Sesi Diskusi Kelompok:
Sesi diskusi kelompok dibuka oleh Bayu Aji Wicaksono dari Daya Dimensi Indonesia,
sebagai fasilitator dengan menerangkan 5 pilar corporate citizenship yaitu Strengthening
Economy, Building Human Capital, Environment Protection, Corporate Governance dan
Social Concern&Cohesion. Dalam mengoptimalkan praktek CSR, ada 4 kerangka yang
dianut oleh IBL yaitu dimulai dari Leadership dan kemudian diturunkan menjadi Policy
Setting, Program Development, System Installation dan Measurement&Reporting.
Kelompok diskusi dibagi menjadi 2 kelompok dimana masing-masing kelompok
membahas 2 kerangka, yaitu Kelompok Environment&Human Capital, dan Kelompok
Strengthening Economis&Social Cohesion. Masing-masing kelompok akan menurunkan
kerangka-kerangka tersebut kedalam policy settings yang dipahami oleh perusahaan
masing-masing.

Setelah melakukan diskusi internal kelompok, masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya sekaligus untuk mendapatkan masukan ataupun
pertanyaan.
a. Kelompok Strengthening Economics & Social Cohesion
Kerangka Strengthening Economics dipresentasikan oleh Maria R. Nindita, tim penulis
dari Universitas Trisakti. Dari hasil diskusi dapat diambil pembelajaran dari perusahaanperusahaan:
PT. Freeport Indonesia. Chairman dan CEO Freeport telah membuat ‘masterplan’
pembangunan jangka panjang termasuk ‘masterplan’ untuk komunitas di sekeliling
Freeport. Freeport menyumbang 1% dari penerimaan untuk kegiatan CSR melalui
program ‘partnership’ yang diatur oleh suatu lembaga pelaksana program kemitraan.
Disamping itu telah dikembangkan ‘trust fund’ (1juta US dollar per tahun sampai masa
tambang selesai) dan dibagi ke dua suku untuk pembangunan masyarakat tersebut
dengan cara mengambil ‘gain’ dari dana tersebut. Setelah semua kegiatan ini Freeport
juga melakukan monitoring dan evaluasi melalui konsultasi dengan lembaga pendidikan.

8
PT. Sucofindo. Sebagai BUMN, CSR policy settings telah diturunkan dari peraturan
menteri BUMN dimana 2.2% dari profit perusahaan di gunakan untuk praktek
pemberdayaan masyarakat (Community Development).
PT. Indofood Sukses Makmur – Divisi Bogasari: Policy Settings untuk praktek CSR di
Bogasari diturunkan dari nilai yang in-line dan off-line dengan core business-nya.
Kegiatan pengembangan sosial ekonomi yang dimasukkan ke dalam policy setting
perusahaan antara lain terlihat dari Program “Pro perak” yaitu program pemberdayaan
ekonomi rakyat dan ’partnership’ dengan pemda. Komitmen praktek CSR terasa tinggi
karena dipegang langsung oleh CEO Bogasari.
Tujuan dari pemberdayaan ekonomi rakyat antara Bogasari dan Freeport adalah sama
yaitu untuk membangun kemandirian masyarakat.
Kerangka Social Cohesion dipresentasikan oleh Mulya Amri dari URDI. Pembelajaran
yang dapat diambil dari perusahaan-perusahaan tersebut antara lain:
PT. Freeport Indonesia. Pada saat ada dana 1% dari Freeport ke masyarakat, pada
kenyataannya dana tersebut tidak terlalu berdampak positif karena masyarakat belum
siap mengelola uang tersebut. Untuk itulah akhirnya Freeport membentuk lembaga
yang terdiri dari badan musyarawarah dari DPRD. Walaupun demikian peningkatan
capacity juga masih diperlukan karena masih terdapat laporan yang masih belum
akuntabel, begitu juga dengan communication skill juga perlu ditingkatkan. Disamping
itu keputusan di level manajemen puncak juga merupakan hal yang prioritas. Hal ini
disebabkan keadaan ’neighbouring’ dengan masyarakat.

‘Social cohesion’ terkait dengan human capital, seberapa jauh kapasitas dari individu
dapat membangun kekuatan di masyarakatnya. Pastinya suku-suku di papua ini punya
’local values’ yang apakah sudah dimanfaatkan? Kemudian jumlah uang. Kalau
dikaitkan dengan social cohesion, jika terlalu besar justru tidak terbangun. Dengan uang
yang besar dan diserahkan kepada masyarakat mungkin modal human capitalnya tidak
terbangun mereka sudah tersuply dengan uang yang sendirinya sudah tersedia.
(Wicaksono Sarosa, tim penulis).

Policy dari ketiga perusahaan yang telah dipaparkan tersebut berbeda sumber
keputusannya (pemerintah, shareholders) - Jika Sucofindo sebagai BUMN ditentukan
oleh pemerintah untuk memberikan dana comdevnya dengan memakai PKBL Sebanyak
2% profit pertahun, sedangkan Freeport ditentukan oleh shareholders. Kemudian pada
kasus Freeport, orang papua cenderung ‘malas’ sehingga perlu diperhatikan cara untuk
mem’brainwash’ mereka agar mau bekerja. (Agus Pambagio, tim penulis)
Komentar:

Dalam program ’partnership’, dalam kenyataannya memang banyak sekali
proposal yang disampaikan oleh masyarakat, namun masih ada proposal
yang tidak layak. Untuk itu lembaga akan menolak sekaligus
membimbing kelayakan isi proposal tersebut. (Mindo Pangaribuan, PT.
Freeport Indonesia)

Policy settings yang kita bicarakan ini terkait erat dengan kondisi riil di
bangsa Indonesia, sampai yang non-regulated di bangsa ini. Ideal
karakteristik ataupun ideal kriteria yang akan disarankan kepada
masyarakat dalam sebuah buku , tetapi saya pikir fakta ini juga perlu

9
disinggung supaya kita tidak terjebak hanya bicara idealistik tapi
ujungnya juga tidak applicable. (Fauzi, ICRAF)
Apa yang dilakukan oleh Freeport yaitu menentukan besaran 1% dari
penerimaan pun mendapatkan tantangan. Kalau kita bicara ideal, bukan
hanya freeport yang menentukan karena kputusan tersebut tetapi
didalamnya ada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan tokoh
masyarakat. (Mindo Pangaribuan, PT. Freeport Indonesia).
a. Kelompok Environment & Human Capital

Hasil diskusi Kerangka Human Capital dipresentasikan oleh Fajar Nursahid, tim penulis
dari LP3ES. Pembelajaran diambil dari perusahaan-perusahaan:
Star Energy. Pada kasus Star Energy, Policy Settings CSR diturunkan secara 1).
‘external enforcement’ sebagai instruksi dari BP Migas selaku pengawas. 2) Normatif
dengan mengalamatkan isu pendidikan dan kesehatan sebagai praktek CSR yang
dilakukan, 3) Adanya mekanisme ‘Stakeholders meeting’ yang merumuskan isu/masalah
tersebut, dan 4) Adanya ‘policy improvement’ akibat realisasi di lapangan. ‘Policy
improvement’ timbul karena ada intermediaries yaitu pemda sebagai agen yang
melakukan tender program dengan ruang lingkup tanggungjawab terbatas hanya
dibidang administrasi tapi perusahaan tetap memeriksa aliran dana. Implikasinyanya
positifnya bisa auditable, 5) Policy juga tergantung figur manajemen, saat ini
manajemen dipegang oleh orang yang sangat sosial sehingga terbentuklah budaya
organisasi dengan perumusan point views dari ‘Bright Star Added Balance Values for
Stakeholders’ dimasukkan kedalam visi stakeholders.

Komentar:
T: Menyangkut Human Capital yaitu memberdayakan masyarakat local,
apakah ada kebijakan dalam perusahaan untuk mendahulukan
masyarakat local dimana perusahaan beroperasi? (Mindo Pangaribuan, PT.
Freeport Indonesia)
J: Mungkin ini hubungannya dengan tenaga kerja. Setahu saya HRD
sudah membuat policy seperti itu tapi kendalanya adalah produktivitas
sehingga kita mengurangi ’local content’. Tapi kenyataan ini pun
mengalami konflik lokal. (Aldian Fahri, Star Energy)
Masukan saja bahwa sebelum diberdayakan, masyarakat lokal perlu di
latih dulu sebelum mulai bekerja. Keadaan ini dapat mengurangi konflik
yang mungkin bisa saja terjadi (contoh proyek bandara di SuMut dimana
masyarakat lokal di latih dulu sebelum ikut menjalankan proyek
pembangunan bandara tersebut). (Agus Pambagio, tim penulis)

Kerangka Environment dipresentasikan oleh Chandra Panjiwibowo, tim penulis dari
ICRAF. Pembelajaran dari perusahaan sebagai berikut:
Gikoko Kogyo Indonesia. Dalam Gikoko diberlakukan Clean Development Mechanism
(CDM) yang dilatarbelakangi oleh isu pemanasan global dan perjanjian ‘Kyoto Protocol’
dimana Negara maju untuk menurunkan level emisi. Dari isu lingkungan berubah ke isu
bisnis bahwa dalam isu lingkungan ada nilai investasi tidak sekedar ’cost’ dan ada
’return value’ bagi mereka. Posisi Leadership akan sangat crucial menentukan CSR

lingkungan apakah dapat fokus dilakukan mengingat tantangan dari mekanisme ini juga
panjang dilakukan.
Komentar:
Dalam konteks CSR lingkungan, konsep 3R yaitu Reduce, Risk dan Recycle
bisa diterapkan. Ada jenis industri tertentu yang barang-barangnya dapat
diguankan ulang. Freeport pernah bekerjasama dengan LAPI ITB meriset
bahwa ‘tailing’ tidak beracun dan dapat digunakan untuk bahan
konstruksi. Saat ini di Papua sudah menggunakan ‘tailing’ untuk
pembangunan jalan. (Mindo Pangaribuan, PT. Freeport Indonesia)
Diskusi kelompok ditutup dengan kesimpulan oleh fasilitator, Bayu, dengan menyatakan
bahwa nilai motivasi dari CEO dan policy dari pemerintah untuk meng-counter waste
sudah terlihat dalam turunannya ke kerangka policy settings. Selanjutnya tim penulis
tentunya telah mendapatkan pengayaan melalui diskusi pembelajaran ini dan dapat
menjadi bahan bagi penulis untuk menerbitkan buku kedua.

“CSR Untungkan Perusahaan”


Kesadaran para pelaku bisnis dalam menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) relatif baru lahir, awal 1990. sementara di Barat, konsep mengenai tanggungjawab sosial bisnis sudah relatif lama. Masih banyak anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat buang-buang biaya. Padahal program CSR justru memberikan banyak keuntungan pada perusahaan. Redaksi http://www.masyarakatmandiri.org/ mewawancarai Fajar Nursahid Peneliti LP3ES, Anggota Komite Nasional untuk Penyusunan ISO 26000 (Guidance on Social Responsibility). Berikut kutipan lengkap hasil wawancara dengan Penulis Buku “Tanggungjawab Sosial BUMN”, yang akan dimuat secara bersambung.

Mengutip pendapat Konsultan Senior Quality Management System A. H. Mulyanto dalam seminar tentang CSR di Jakarta, Selasa (30/1/2007), tingkat kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia masih memprihatinkan. Pendapat Anda?Mungkin ada benarnya. Hal ini terkait dengan beberapa sebab. Pertama, kesadaran para pelaku bisnis untuk dapat bertanggungjawab secara sosial ini relatif baru lahir awal 1990-an, setelah mereka menyadari bahwa memperhatikan lingkungan sosial dan masyarakat adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak dalam bisnis, dan oleh karena itu harus diintegrasikan dalam manajemen. Sementara di Barat, konsep mengenai tanggungjawab sosial bisnis sudah relatif lama. Peter Drucker, misalnya, awal tahun 1970-an sudah mengintrodusir wacana keterlibatan dunia bisnis dalam permasalahan-permasalahan sosial seperti kemiskinan, wabah, bencana alam, dan sebagainya. Kedua, masih banyak anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat “cost-centre” alias buang-buang biaya; bukannya dipahami sebagai “investment center.” Padahal, perhatian perusahaan terhadap lingkungan sosialnya mestinya harus dipahami sebagai investasi jangka panjang. Saya kira banyak contoh perusahaan-perusahaan yang justru harus rugi atau keluar biaya lebih banyak lagi –karena demo masyarakat, karyawan mogok, dan sebagainya yang mengakibatkan proses produksi terhenti, akibat mereka abai terhadap aspek sosial ini. Ketiga, ini masih berhubungan dengan dengan faktor kedua, situasi ekonomi biaya tinggi yang terjadi di Indonesia –misalnya karena banyaknya pungli, korupsi, dan sejenisnya; menyebabkan perusahaan tidak mau lagi dipusingkan dengan persoalan “biaya” tambahan untuk merespon berbagai persoalan sosial di sekitar usahanya. Keempat, tidak ada insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang terbukti mempunyai praktik CSR yang baik. Padahal, insentif –misalnya berupa pengurangan pajak (tax deduction) bagi perusahaan yang memberikan donasi sosial, diyakini banyak pihak akan mendorong semakin masifnya praktik CSR di Indonesia.

Ada hasil riset yang mendukung pendapat tentang tingkat aktivitas CSR di Indonesia? Ada. Dewasa ini terdapat sejumlah lembaga yang sangat concern terhadap upaya-upaya peningkatan CSR di Indonesia seperti PIRAC, Indonesia Business Links (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), Business Watch Indonesia (BWI), dan lain-lain. Riset tentang CSR merupakan salah satu aktivitas yang jamak mereka lakukan. Studi PIRAC tahun 2003 terhadap 226 perusahaan di 10 Kota Besar di Indonesia, misalnya, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata per tahun sumbangan perusahaan nasional dan lokal masing-masing sebesar Rp 45 juta dan Rp 16 juta. Angka ini masih jauh di bawah perusahaan-perusahaan multinasional yang mencapai Rp 236 juta per tahun. Studi ini juga menghasilkan temuan bahwa 37% responden menyatakan secara tegas akan menaikkan jumlah sumbangannya jika ada kebijakan pengurangan pajak (tax deduction) oleh pemerintah atas sumbangan sosial mereka kepada masyarakat. Jadi, saya kira, ini mewakili trend CSR di Indonesia dewasa ini.
Sebagai perbandingan, bagaimana implementasi CSR di negara lain? Yang paling signifikan berbeda mungkin terkait dengan regulasi perpajakan. Di negara-negara maju, ada mekanisme insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang mengalokasikan dananya ke masyarakat. Sehingga semakin mendorong bagi perusahaan-perusahan untuk berkontribusi secara sosial dan memberikan donasi ke masyarakat karena dengan begitu pajak mereka akan kurangi. Di Asia, Filipina, mereka mengenal hal serupa. Mirip dengan peraturan mengenai UU Zakat di Indonesia, pengurangan pajak –kendati secara terbatas (limited deductibility) dapat diberikan bagi individu atau lembaga penyumbang. Aturannya, pengurangan tersebut tidak lebih dari 10% bagi donatur individu dan 5% bagi donatur perusahaan (corporate donor).

Di Filipina juga ada lembaga yang disebut PBSP (Philippine Bussines for Social Progress). Ini merupakan salah satu cerminan bentuk kongkrit kontribusi perusahaan-perusahaan di Filipina dalam menyediakan sumber pendanaan bagi LSM dan mengatasi berbagai persoalan sosial masyarakat. Lembaga ini didirikan pada tahun 1970 oleh 49 perusahaan untuk melaksanakan komitmen mereka terhadap pembangunan sosial Filipina. Pendirian asosiasi ini dimaksudkan guna mengumpulkan sumberdaya dari perusahaan-perusahaan strategis yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung program yang mendorong ke arah kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta pertumbuhan ekonomi di Filipina. Saat ini, PBSP telah memiliki 179 anggota yang terdiri dari perusahaan lokal dan multinasional seperti San Miguel Corporation, Shell, IBM Philippine, dan lain-lain.

Di Indonesia memang sudah ada beberapa asosiasi bisnis dan perusahaan, tetapi masih belum sejauh itu visi dan misinya. Ada inisiatif seperti yang dilakukan oleh IBL, CFCD dan mungkin yang lainnya, tetapi masih bersifat parsial. Belum terintegrasi, tersistem dan tergabung dalam ikatan komitmen yang solid. Ada juga praktik-praktif CSR yang relatif maju yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Rio Tinto, Citybank PeKA, Yayasan Sahabat Aqua, Yayasan Sampoerna, dan sebagainya. Di BUMN pun, program serupa pun dijalankan sebagai wujud kepatuhan (complience) terhadap Kepmen No. Kep-236/MBU/2003 dengan membentuk divisi khusus yang disebut PKBL untuk menangani Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Tapi ya itu.. sekali lagi, masih bersifat parsial. Mungkin dibutuhkan kerangka hukum yang luas untuk menampung berbagai inisiatif ini dapat berjalan sinergis.

Keuntungan apa saja sebenarnya yang bisa didapat oleh perusahaan dengan penerapan CSR? Benarkah berpengaruh pada peningkatan performa finansialnya, serta menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat sehingga produk mereka selalu dicari konsumen?Banyak sekali keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan penerapan CSR. Keuntungan yang paling mendasar adalah menyangkut stabilitas usaha itu sendiri. Tanpa perhatian yang memadai terhadap lingkungan sosial, mustahil perusahaan dapat beroperasi dengan lancar. Sebagai contoh, perusahaan tambang yang beroperasi di sebuah kawasan. Jika dia tidak bertanggungjawab terhadap pencemaran yang ditimbulkan, tidak memberikan akses lapangan kerja bagi masyarakat setempat, tidak menyediakan berbagai fasilitas sosial kepada masyarakat, dan sejenisnya; maka sulit dibayangkan perusahaan ini dapat beroperasi dengan lancar.

Memang CSR tidak memberikan dampak finansial secara seketika, tetapi harus diyakini bahwa CSR mampu meningkatkan performa bisnis dalam jangka panjang. Perusahaan yang mempunyai legitimasi secara sosial, dengan sendirinya akan terkatrol imagenya. Kita tahu, image merupakan hal yang sangat penting bagi bisnis. Sekali image hancur, maka akan sulit membangunnya lagi dari awal. Dalam situasi masyarakat konsumen yang kritis, ini penting. Saya fikir, perlu juga men-track praktik bisnis perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kalau ada diantara mereka yang tidak aware terhadap tanggungjawab sosial, kita perlu publikasikan dan kita kampanyekan ramai-ramai supaya masyarakat boikot produk dia... Untuk pasar seperti masyarakat Indonesia, ini memang belum terjadi. Tapi kesadaran masyarakat harus dibangun mulai sekarang, supaya mereka menjadi konsumen yang kritis.

Fajar Nursahid. Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Lahir di Kendal, 14 Desember 1973. Menyelesaikan studi S1 Komunikasi dari Universitas Diponegoro tahun 1999, kemudian atas beasiswa IIEF-Ford Foundation melanjutkan studi S2 di Magister Manajemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, lulus dengan predikat cumlaude tahun 2005. Sejak usia SMA menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), antara lain menjabat Ketua Umum PW PII Jawa Tengah (1996-1998) dan Sekretaris Jenderal PB PII (2000-2002); menjadi Redaktur Pelaksana Koran Kampus “Manunggal” Universitas Diponegoro (1994-1995 dan 1995-1996); serta Litbang Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Semarang (1996-1999). Pernah menjadi delegasi Indonesia pada workshop “Global Experience Sharing on Social Responsibility” dan Pertemuan “ISO Working Group on Social Responsibility” di Bangkok, 2005. Menulis buku “Tanggungjawab Sosial BUMN” diterbitkan oleh PIRAC, 2006. Selain itu aktif menulis makalah untuk berbagai seminar dan diskusi, serta terlibat dalam penelitian-penelitian sosial dan ekonomi –khususnya berkaitan dengan isu penguatan kelembagaan masyarakat sipil, filantropi sosial, dan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

CSR untuk Pemberdayaan Masyarakat

Seandainya sebagian besar manajemen perusahaan memiliki visi yang kuat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, mungkin berbagai problem mendasar bangsa ini seperti kemiskinan dan pengangguran akan relatif teratasi. Berikut lanjutan wawancara dengan Fajar Nursahid, Anggota Komite Nasional untuk Penyusunan ISO 26000 (Guidance on Social Responsibility).

Bentuk CSR apa saja yang potensial dikembangkan di Indonesia? Apa saja, tetapi yang prioritas mungkin disesuaikan dengan problem-problem kebanyakan masyarakat Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan lain-lain. Tetapi memang masalahnya tidak semua kebijakan sosial perusahaan lingkage dengan problem-problem mendasar tadi. Banyak program-program “CSR” yang bersifat artifisial, bias, dan belum tentu cocok dengan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu ada orientasi yang kuat di kalangan pengambil kebijakan perusahaan atau pemegang policy CSR supaya pandai membaca trend dan kebutuhan masyarakat. Perlu ada assesment untuk itu, jangan sekedar buang-buang uang ke masyarakat tetapi tidak meninggalkan dampak apa pun.

Sejauhmana peluang perusahaan turut serta dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil ? Sangat potensial karena perusahaan adalah value creator. Mereka punya dana, punya SDM, punya teknologi. Seandainya sebagian besar manajemen perusahaan memiliki visi yang kuat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, mungkin berbagai problem mendasar bangsa ini seperti kemiskinan dan pengangguran akan relatif teratasi. Program Kemitraan yang diwajibkan kepada setiap perusahaan BUMN agar men-spend 1 s/d 3 % dari laba bersih untuk mendukung UKM dan Koperasi, misalnya, perlu dijadikan role model. Tentu saja dengan mempelajari berbagai kelemahan yang ada. Kita bisa bayangkan, jika di Indonesia ini ada sekitar 150-an perusahaan BUMN besar dan kecil, dan semuanya diwajibkan menyisihkan dana kemitraan sebesar 1 s/d 3% dari laba bersih, tak terbayangkan berapa besar dana yang bisa terkumpul? Belum lagi dana-dana sosial yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Tapi sekali lagi, “gerakan” untuk menjadikan praktik CSR perusahaan ini menjadi sesuatu yang sinergis belumlah ada. Semuanya berjalan parsialis, tergantung masing-masing. Bahkan, jarang sekali perusahaan yang memiliki blue print kebijakan sosial. Ini sangat disayangkan karena jatuhnya seperti bagi-bagi uang saja. Sementara impaknya nggak ada.

Mampukah perusahaan dengan CSR yang berkesinambungan bisa turut menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran? Mampu, asalkan manajemen perusahaan memiliki visi yang kuat terhadap masalah-masalah sosial. Lebih dari itu, program-program yang dimunculkan dari praktik CSR haruslah program yang diarahkan untuk menyelesaikan akar masalah, “tackling the root of causes.” Bukan sekedar program bagi-bagi uang, sekedar memoles citra perusahaan dan mengamankan bisnis semata-mata. Kalau programnya semacam ini, sampai kapan pun praktik CSR tidak akan pernah efektif.

Sebenarnya, CSR apakah sudah cukup diterima masyarakat Indonesia umumnya? Secara faktual, bagi masyarakat umum, iya. Bukan rahasia lagi bahwa di dalam benak masyarakat tertanam bahwa perusahaan adalah pemilik modal, mereka berbisnis; dan untuk itu perusahaan harus share keuntungan dia untuk masyarakat. Dari yang sepele, misalnya perusahaan dimintain sumbangan 17-an, sponsor kegiatan mahasiswa, pembangunan masjid, dan sebagainya. Praktik semacam ini telah tumbuh lama bahkan sejak sebelum istilah CSR itu sendiri muncul. Hanya sekarang kan variasinya sudah sangat kompleks dan beragam, ditujukan pada pemberdayaan komunitas yang lebih signifikan. Per teori, orang pun lalu mengaitkan CSR dengan praktik bisnis perusahaan yang sangat masif, eksploitatif, dan ekstraktif yang mempengaruhi keseimbangan alam dan sosial. Sehingga bisnis harus bertanggungjawab terhadap perubahan keseimbangan tersebut sebagai ekses dari praktik bisnis yang dilakukannya, ini yang kemudian dikonseptualisasikan dengan tanggung jawab sosial perusahaan bisnis atau CSR.

Tetapi, bagi sebagian kalangan perusahaan, mereka tidak happy dengan CSR. Mereka berpandangan bahwa tanggung jawab sosial bukanlah urusan bisnis, melainkan pemerintah. Mereka berprinsip, “the business of business is business.” Tapi saya rasa ini mewakili pandangan yang ekstrim kaum liberal seperti yang diajarkan oleh Milton Friedman. Faktanya, wacana berbisnis secara etis dan harus bertanggungjawab secara sosial dewasa ini lebih diterima sebagai mainstream, dan telah pula diadopsi oleh manajemen bisnis modern. Jadi, secara umum, boleh dikatakan bahwa CSR relatif telah diterima oleh masyarakat, pun oleh msayarakat bisnis itu sendiri.

Perlukan CSR diikat dengan suatu aturan? Mengenai ini orang beda-beda pendapat terkait dengan paradigma CSR itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa CSR itu bersifat “voluntary” atau kerelaan. Oleh karena itu dia bersifat mana suka, dan disilakan kepada institusi bisnis untuk mengadopsi konsep ini ataukah tidak. Tetapi, sebaliknya, ada yang berpandangan bahwa CSR haruslah bersifat “mandatory,” menjadi bagian dari mandat dunia bisnis itu sendiri. Begitu seseorang memutuskan berbisnis atau mendirikan perusahaan, maka secara intrinsik dengan sendirinya tanggung jawab sosial itu melekat dalam praktik bisnisnya. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk menegakkan praktik bisnis yang beretika dan bertanggungjawab secara sosial ini penting dilakukan. Pendapat kedua ini cenderung saya benarkan, karena lebih menjamin terakomodasinya kepentingan masyarakat dalam praktik bisnis seseorang atau perusahaan. Terlebih jika mengingat konstruksi sosial politik negara-negara berkembang seperti Indonesia, ketegasan peraturan dibutuhkan guna menjamin pelaksanaan CSR secara lebih masif.
Tetapi memang, kedua paradigma ini sama kuat. Di perdebatan internasional, misalnya dalam pembahasan ISO 26000 yang akan diluncurkan pada tahun 2008 yang akan datang, dipakai “kata tengah” untuk mengakomodasi dua kutub pemikiran ini, sehingga ISO mengenai tanggung jawab sosial ini pun unik. Berbeda dengan produk ISO lain yang bersifat pengaturan atau standar, ISO 26000 disebut sebagai Guidance on Social Responsibility. Jadi hanya sekedar panduan atau ‘guidance’ bukan bersifat standard, karena memang ternyata susah sekali untuk menemukan titik temu perlunya pengaturan atau tidak terhadap CSR ini. Namun dengan (sekedar) sebutan panduan pun sudah lebih dari cukup untuk menisbatkan bahwa wacana tentang tanggungjawab sosial ini –khususnya bagi dunia bisnis, akan semakin boom ke depan. Suka atau tidak, ia akan menjadi sandaran penting bagi dunia bisnis ke depan; bahwa berbisnis itu haruslah dengan etika. Dan salah satu dimensi dari etika bisnis tersebut adalah perlunya mereka bertanggungjawab secara sosial (socially responsible).

Corporate Social Responsibility Bukan Kedermawanan

Pemangku kepentingan perusahaan bukan hanya pemegang saham.
Setelah menelorkan Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM), kini sebagian anggota Komisi VI (Bidang BUMN, Industri, dan Perdagangan) masih punya pe-er. Mereka kini tergabung dalam Pansus UU Perseroan Terbatas (UU PT). Pansus ini juga diisi oleh anggota Komisi XI yang membidangi Anggaran, Keuangan, dan Perbankan.

UU PT yang sedang mereka siapkan merupakan bakal UU yang akan memperbarui UU Nomor 1 Tahun 1995. “Saat ini masih dibahas oleh Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi,” ungkap anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Yudo Paripurno. Yudo menyampaikannya menjelang rapat tertutup Pansus, Senin (7/5). Rapat tertutup tersebut membahas rencana studi banding ke Thailand dan China.

Ada hal yang menarik dalam RUU PT ini. Selain Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun modal minimal, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) adalah bahasan yang tak kalah pentingnya. Aria Bima menilai CSR tak hanya sekadar kedermawanan sebuah perusahaan. “CSR ini memang benar-benar kewajiban,” ungkap anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).

Yudo mengamini pendapat Aria. “Ibaratnya, CSR itu hukumnya bukan sunnah lagi. Melainkan, fardhu.” Yudo melanjutkan, jika perusahaan tidak menerapkan CSR, bisa dikenai sanksi. “Bisa dalam bentuk peringatan, hingga pencabutan izin usaha.”

Aria mengingatkan, dalam kondisi ekonomi yang makin mengglobal, pemangku kepentingan (stakeholder) sebuah perusahaan bukan hanya pemegang saham (shareholder). “Lebih luas lagi, stakeholder adalah masyarakat dan lingkungan.” Ia mengaku geram karena masih banyak perusahaan yang mengaku telah bertanggung jawab kepada masyarakat, namun merusak lingkungan juga. “CSR tak sekadar community development, bangun jalan, sekolah, atau rumah sakit.”

Menurut Aria, sebuah perusahaan kudu menerapkan CSR mulai dari proses awal produksi. “Harusnya dari hulu hingga hilir,” tukasnya. Aria mencontohkan usaha furnitur. Jika perusahaan tersebut mengambil bahan baku dari penebangan ilegal (illegal logging), perusahaan tersebut belum bertanggung jawab. Aria mencontohkan kebocoran limbah sebuah pabrik di Bekasi, kasus Buyat, serta Lapindo.

Lebih jauh lagi, dampak buruknya akan menimpa perusahaan itu sendiri. “Perdagangan internasional sudah mewajibkan produk berlabel CSR. Jika tidak bersertifikat CSR, atau ketahuan perusahaan tersebut mengambil bahan baku dengan merusak lingkungan, produknya bisa ditolak,” tutur Aria.

Aria juga berharap, industri keuangan semisal perbankan juga memasukkan kriteria CSR dalam seleksi kelayakan kredit. Jika sebuah perusahaan ingin memperoleh kredit dari perbankan, perusahaan tersebut kudu sudah melakukan CSR. Saat ini kelayakan kredit kan hanya dilihat dari bagusnya laporan keuangan. Baik Aria maupun Yudo mengakui, penggodokan RUU PT ini masih panjang. “Masih akan kami bahas dengan Pemerintah. Ini masih awal. Perlu perincian di setiap pembahasan,” ujar Yudo.

Saat ini anggota Pansus berencana studi banding ke beberapa negara. Di antaranya, China dan Thailand. “Kenapa produk negara-negara tersebut bisa diterima oleh pasar dunia? Tentu karena sudah menerapkan CSR,” ungkap Aria.

Kita tunggu, jangan sampai ada kasus Lapindo, Newmont, atau Freeport yang lain.

Radiasi BTS/Menara Seluler Aman Bagi Kesehatan Manusia


Jumat, 28 Februari 2003
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/28/0304.htm
Radiasi Perangkat Telekomunikasi Relatif AmanBTS Belum Terbukti Timbulkan Penyakit
BANDUNG, (PR).-Frekuensi radio dari gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh perangkat telekomunikasi seluler yang ada di Indonesia, baik dari menara BTS maupun pesawat telefon seluler, relatif aman bagi kesehatan manusia. Besaran radiasi yang dihasilkan masih di bawah ambang batas standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan lembaga sertifikasi dunia lain.
"Lagi pula, setiap operator seluler tidak akan gegabah memasang dan mengoperasikan perangkat yang menghasilkan frekuensi radio. Pengoperasian itu harus mendapat sertifikasi dari lembaga berwenang, dalam hal ini Dirjen Postel," kata pengamat seluler, Gunung Hadi Widodo, saat dimintai pendapatnya berkaitan dengan munculnya kekhawatiran sejumlah warga yang tinggal di lokasi berdekatan dengan menara BTS.
Gunung yang juga Kepala Indosat Multimedia Mobile (IM3) Regional Jawa Barat menjelaskan, level batas radiasi yang diperbolehkan menurut standar yang dikeluarkan WHO masing-masing 4,5 watt/m2 untuk perangkat yang menggunakan frekuensi 900 MHz dan 9 watt/m2 untuk 1.800 MHz. Sementara itu, standar yang dikeluarkan IEEE C95.1-1991 malah lebih tinggi lagi, yakni 6 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz dan 12 watt/m2 untuk perangkat berfrekuensi 1.800 MHz.
"Umumnya, radiasi yang dihasilkan perangkat-perangkat yang digunakan operator seluler tidak saja di Indonesia, tapi juga seluruh dunia, masih jauh di bawah ambang batas standar sehingga relatif aman," kata Gunung.
Gunung juga mengakui, sejauh ini protes dan kekhawatir masyarakat terhadap dampak radiasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan perangkat telekomunikasi seluler lebih banyak datang dari mereka yang tinggal di sekitar tower BTS (base transceiver station). Sejauh ini belum ada satu pun keluhan atau kekhawatiran akan dampak radiasi itu yang datang dari para pengguna telefon seluler.
"Padahal, jika dihitung-hitung, besarnya daya radiasi yang dihasilkan pesawat telepon seluler jauh lebih besar daripada radiasi tower BTS. Memang betul, daya dari frekuensi pesawat handphone sangat kecil, tapi karena jaraknya demikian dekat dengan tubuh kita, dampaknya juga lebih besar," tambah Gunung.
Pernyataan tersebut didasarkan atas hasil perhitungan menggunakan rumus yang berlaku dalam menghitung besaran radiasi. Misalnya saja, pada tower BTS dengan frekuensi 1800 MHz daya yang digunakan rata-rata 20 watt dan pada frekuensi 900 MHz 40 watt, sedangkan pesawat handphone dengan frekuensi 1.800 MHz menggunakan daya sebesar 1 watt dan yang 900 MHz dayanya 2 watt.
Berdasarkan hasil perhitungan, pada jarak 1 meter (jalur pita pancar utama), tower BTS dengan frekuensi 1.800 MHz mengasilkan total daya radiasi sebesar 9,5 w/m2 dan pada jarak 12 meter akan menghasilkan total radiasi sebesar 0,55 w/m2. Untuk kasus tower IM3 yang memiliki tinggi 52 meter, berdasarkan hasil perhitungan, akan menghasilkan total radiasi sebesar 0,029 w/m2. "Jadi, kalau melihat hasil perhitungan demikian, sebenarnya angkanya sangat kecil sehingga orang yang tinggal di sekitar tower BTS cukup aman. Lagipula kalau tidak aman, bisnis sektor telekomunikasi pasti akan ditinggalkan konsumen," katanya.
Pernyataan Gunung diperkuat oleh pengamat telematika, Try Djatmiko, yang menyebutkan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh operator telekomunikasi dalam mengoperasikan jaringan sangat berat dan ketat. Beberapa perangkat yang dihasilkan sejumlah vendor seperti Erricsson, Siemens, Motorola, dll. harus lebih dulu lewat seleksi di negaranya sebelum masuk ke Indonesia. (A-60)***

Pemerintah Ajak Publik Bahas Menara Telekomunikasi
Senin, 26 Juni 2006 16:15 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta

Pemerintah menggelar konsultasi publik tentang pengaturan pembangunan menara telekomunikasi selama satu bulan. Konsultasi publik ditujukan untuk menjaring masukan dan mencegah resistensi pihak-pihak terkait.
Menurut juru bicara Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Gatot S Dewa Broto, hasilnya konsultasi publik tersebut akan dituangkan dalam bentuk draf peraturan menteri. ?Dalam ketentuan tersebut juga disertai sanksi serta mekanisme pengawasan,? katanya kepada Tempo, Senin (26/6).
Gator mengatakan, dalam rancangan peraturan menteri mewajibkan konsep single tower atau kolokasi menara. Operator -operator telekomunikasi harus menggunakan menara bersama. "Persaingan pendirian menara telekomunikasi kurang efisien, karena menambah beban biaya,? ujarnya. Draf peraturan menteri nantinya akan memuat regulasi menara telekomunikasi mencakup, larangan interferensi, kewajiban koordinasi, beban maksimal menara serta batas aman antarantena masing-masing operator di menara.
Pemerintah juga akan mengatur batas maksimum radiasi, jarak menara dari perumahan, luas minimal lahan, standar konstruksi dan hal-hal teknis maupun non teknis lainnya serta perizinan. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi telah mengadakan pertemuan dengan Departemen Pekerjaan Umum, pemerintah daerah, operator dan vendor untuk persiapan draf. Pada ertemuan terakhir 23 Juni lalu, pemerintah memaparkan alternatif jarak aman menara. Pertama, untuk tinggi menara maksimal 45 meter, berjarak minimal 20 meter dari perumahan, 10 meter di tempat komersial, dan lima meter bila di daerah industri. Untuk menara di atas 45 meter, jarak dari bangunan perumahan minimal 30 meter, 15 meter untuk daerah komersial dan 10 meter untuk daerah industri.
Kedua, untuk ketinggian menara di atas 60 meter, jarak dari bangunan terdekat adalah 20 meter. "Untuk ketinggian menara di bawah 60 meter, jarak terdekat dari bangunan adalah 10 meter," kata Gatot.

Effect Radiasi Gelombang Radio
Terhadap Kesehatan Makhluk Hidup

Laporan Studi

Peneliti :

Adit Kurniawan
Iskandar

Laboratorium Telekomunikasi Radio dan Gelombang Mikro
Departemen Teknik Elektro
Institut Teknologi Bandung
2002

Ringkasan Eksekutif
(Executive Summary)
Perkembangan sistem komunikasi seluler sangat pesat sejak dua decade terakhir dengan pertumbuhan jumlah pemakai sistem komunikasi seluler yang terus meningkat secara eksponensial. Untuk memenuhi permintaan pemakai sistem seluler yang terus meningkat, infrastruktur jaringan sistem komunikasi seluler perlu terus dibangun agar wilayah pelayanan (service coverage) terus bertambah luas dan lebih baik guna memberikan pelayanan yang semakin meningkat.
Karena perluasan dan peningkatan kualitas wilayah pelayanan sistem komunikasi seluler sangat ditentukan oleh kulaitas jaringan akses (customer access network) yang merupakan segmen jaringan dari basestation ke subscriber dan sebaliknya, maka jumlah dan penempatan basestation sangat signifikan peranannya dalam sistem jaringan komunikasi seluler. Segmen jaringan dari basestation ke arah sentral (mobile switching office, MSC) melalui basestation controller pada dasarnya tidak menjadi persoalan serius karena bisa dihubungkan dengan menggunakan jaringan multipleks baik menggunakan microwave link maupun media saluran fisik kabel atau serat optik. Persoalan yang sering muncul adalah pemilihan lokasi basestation untuk mendapatkan coverage yang baik yang seringkali menimbulkan masalah sosial terutama di wilayah pemukiman.
Dengan regulasi telekomunikasi multi operator dimana penyelenggara sistem komunikasi seluler dilaksanakan oleh banyak operator yang memberikan pelayanan secara overlap, setiap operator cenderung meluaskan wilayah pelayanannya dengan membangun basestation sendiri-sendiri, sehingga menimbulkan problem serius terhadap komunitas dengan terus bermunculannya basestation-basestation baru dengan tower yang dibangun di sekitar pemukiman karena masyarakat merasa khawatir terhadap effect radiasi gelombang radio yang dipancarkan dari basestation tersebut terhadap kesehatan dan keselamatan mereka.
Oleh karena itu, atas permintaan Dinas Lingkungan Kabupaten Pemda II Bandung, untuk mendukung pertimbangan dan keputusan berkaitan dengan pembangunan Gedung Sentral Telekomunikasi Ratelindo di Parongpong, perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan efek radiasi gelombang RF terhadap kesehatan dan keselamatan makhluk hidup.
Pada studi ini effect radiasi gelombang radio terhadap kesehatan dan keselamatan makhluk hidup dipelajari dengan melakukan studi literature berdasarkan hasil penelitian, terutama yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga maupun perorangan di negara lain. Metoda yang digunakan dalam studi ini adalah dengan melakukan studi literature dari berbagai sumber, yang kemudian dikompilasikan dan difokuskan pada problem efek radiasi di sekitar basestation dan juga di sekitar transmisi microwave yang menghubungkan basestation dengan node jaringan lainnya.
Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang sejauh mana efek radiasi gelombang radio tersebut terhadap kesehatan dan keselamatan makhluk hidup yang dapat dipahami oleh masyarakat pemakai sistem radio seluler dan operator. Untuk itu dilakukan studi kasus terhadap salah satu basestation dan pemancar microwave milik PT. Ratelindo (sekarang PT B-Tel) di Parongpong Jawa Barat dengan melakukan perhitungan dan analisis menggunakan spesifikasi peratalan radio: BTS, antenna, tinggi tower, dsb untuk menentukan intensitas radiasi terutama di sekitar BTS dan transmisi microwave tersebut.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sejauh penelitian yang telah dilakukan sampai saat laporan ini dibuat, radiasi gelombang radio belum ditemukan menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan dan keselamatan makhluk hidup selama eksposur makhluk hidup terhadap radiasi gelombang radio masih berada di bawah batas ambang yang ditentukan. Hasil studi kasus BTS dan pemancar microwave di Parongpong Jawa Barat milik PT. Ratelindo (sekarang PT. B-Tel) juga menunjukkan bahwa intensitas radiasi di sekitar BTS tersebut memberikan intensitas radiasi yang jauh di bawah nilai batas ambang.

Thursday, June 21, 2007

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

11 Apr 2006 09:03:22
Oky Syeiful R. Harahap

Belakangan ini banyak iklan perusahaan yang melakukan aksi kepedulian sosial. Biasanya sumbangan itu berupa dana bantuan atau sembako kepada korban bencana alam, panti asuhan, dan lain-lain. Sayangnya, berbagai bantuan ini masih terkesan haus publikasi tanpa menyentuh akar masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Seringkali bantuan tersebut hanya berguna sesaat saja. Selanjutnya masyarakat kembali pada kondisi semula. Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antargolongan pendapatan, antarwilayah dan antarkelompok masyarakat. Masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan dan benang kusut pendidikan.

Pentingnya keterlibatan masyarakat telah ditegaskan oleh undang-undang. Pasal (5), (6), (7) UU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997 menerangkan mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat atas lingkungan hidup. Pasal ini kemudian dipertegas dengan Pasal (33) dan (34) PP RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, tentang keterbukaan informasi dan peran masyarakat. Pelibatan masyarakat sekitar dalam perencanaan, pembangunan dan jalannya kegiatan korporasi menjadi krusial. Pelibatan dengan cara-cara yang baik, dapat memunculkan pengertian masyarakat akan maksud dan tujuan projek. Selain itu, pelibatanjuga merupakan mekanisme check & balances antara pihak masyarakat dengan pihak korporasi. Pertemuan antarkorporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan Corporate Social Responsibility-Concepts and Solutions, menegaskan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha.

Memang sampai saat ini belum ada pengertian tunggal mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Tapi jika ditarik benang merahnya, CSR merupakan bagian stategi bisnis korporasi yang berkaitan dengan kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Di Indonesia sendiri, definisi dan praktik CSR masih dalam wacana. Filosofi bisnis yang dimiliki sejak awal seharusnya adalah pihak korporasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitar. Begitu juga sebaliknya, masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pihak korporasi. Untuk itu, perlu keharmonisan dan keselarasan antara pihak korporasi dan masyarakat sekitar, agar saling menguntungkan (simbiosis mutualistik). Korporasi akan kesulitan jika masih menggunakan paradigma lama, yaitu mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya tanpa mempedulikan kondisi masyarakat sekitar.

Hal ini akan memicu ketidakpuasan (kecemburuan sosial) dari masyarakat sekitar. Selain itu, perusahaan tidak dapat menggali potensi masyarakat lokal yang seyogyanya dijadikan modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Berbeda dengan konsep community development yang menekankan pada pembangunan sosial (pembangunan kapasitas masyarakat), di mana korporasi dapat diuntungkan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, mereka juga dapat membangun citra sebagai korporasi yang ramah dan peduli lingkungan. Untuk keperluan ini Agenda 21 disarankan menggunakan empat pilar pembangunan berkelanjutan (Soemarwoto: 2003), yaitu pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin, pro gender dan pro lapangan kerja. Persaingan bisnis dewasa ini dapat dikategorikan sebagai pertarungan pembentukan dan penjagaan image di mata konsumen/klien.

Di sinilah korporasi dapat unggul dengan pembentukan corporate image yang ramah lingkungan dan memiliki kepekaan sosial. Keuntungan lain, dengan situasi dan kondisi usaha yang aman dan harmonis dengan warga sekitar, membuat perusahaan dapat menjalankan bisnisnya secara nyaman pula. Pelaksanaan community development dapat dimaknai sebagai bentuk pengejawantahan dari corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) terhadap masyarakat sekitar. Diharapkan, pelaksanaan community development menjadi sarana pembangunan masyarakat yang sesuai dengan konsep sustainable development dan pengaturan hukum yang responsif. Peran hukum Mochtar Kusumaatmadja (2002:88) mencatat bahwa hukum sebagai sarana pembangunan bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.

Dalam konteks perusahaan, berarti hukum berperan penting tidak hanya terhadap pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders) dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial, selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur. Kita berharap adanya peraturan yang baik serta dijalankannya law enforcement. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Beberapa korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya itu. Karena itu perlu suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep dan jenis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam rangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan nasional. Berbagai penelitian menunjukkan korelasi positif antara CSR dan finansial perusahaan. Perusahaan yang menerapkan CSR justru memiliki kondisi keuangan yang baik. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan. Selama ini CSR memang bersifat sukarela (voluntarily), wajar jika penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing.

Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. Tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. Kebijakan yang pro masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat dibutuhkan ditengah arus zaman neo liberalisme. Dengan mematuhi berbagai peraturan hukum, maka perbedaan korporasi sebagai pencari untung yang sebesar-besarnya, dengan pihak masyarakat, dapat dijembatani secara elegan. Hukum berfungsi sebagai panduan untuk menentukan sikap dan tingkah lakun sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing. Jika kemitraan ini terjalin baik, korporasi dan masyarakat dapat berhubungan secara simbiosis mutualistik dengan berdasarkan kekeluargaan. Konsep kemitraan dan kekeluargaan tampaknya merugikan korporasi, karena dia harus 'berbaik-baik' dengan masyarakat sekitar, dan berkontribusi dalam pembangunan daerah sekitar. Tapi jika berpikir secara strategis, konsep ini justru dapat sangat menguntungkan pihak pengembang.

Dengan kemitraan dan kekeluargaan, akan tumbuh trust (rasa percaya) dari masyarakat sekitar. Sense of belonging (rasa memiliki) perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat berpandangan bahwa kehadiran korporasi di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat. Menjadi logis, ketika kesadaran ini muncul, masyarakat siap untuk memberi kontribusi kegiatan korporasi. Kalau ini menjadi kenyataan, interaksi harmonis korporasi, masyarakat dan pemerintah akan terdengar bagai irama lagu yang menyejukkan jiwa. Siapkah korporasi dengan hati yang tulus dan konsep yang cerdas melakukan ini semua?

Oky Syeiful R. Harahap, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis Universitas Padjadjaran.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Tony Djogo - 24 Nov 2005 04:01
Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis sudah tentu adalah meningkatkan keuntungan. Logika ekonomi neoklasik adalah bahwa dengan meningkatnya keuntungan dan kemakmuran sebuah perusahaan sudah pasti akan meningkatkan kemakmuran rakyat karena lebih efisien dan murah produk yang dihasilkan.
Kenyataannya tidak demikian, banyak perusahaan bukan hanya makin kaya tetapi juga semakin berkuasa sementara penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan makin banyak. Kemajuan perusahan juga menyumbang ketidak-adilan dan kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.

Memperhatikan kesenjangan yang semakin besar muncul berbagai reaksi untuk memperbaiki persoalan kesenjangan. Antara lain program pengentasan kemiskinan, perbaikan kesejahteraan, bantuan subsidi langsung dan sebagainya. Itu jika dilakukan oleh pemerintah sebagai unsur negara yang yang mempunyai peran penting di situ. Kenyataan menunjukkan bahwa upaya-upaya ini sering tidak membawa hasil atau tidak berkelanjutan.
Namun bagaimana dengan swasta? Swasta dapat dikatakan sering mempunyai kekuasaan yang jauh lebih besar dari pada suatu negara. Data menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar dan kaya jika digabungkan akan mempunyai kekayaan yang lebih besar dari negara. Kekuasaan perusahaan swasta di manapun di dunia sering mampu mendikte pembuatan atau pembaruan kebijakan dan peraturan perundangan suatu negara bahkan politik dan kepemimpinan negara dan daerah. Swastapun mempunyai program-program sosial seperti bantuan fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development), outreach, beasiswa, penyediaan dana filantropis dan sebagainya. Tetapi banyak juga yang tidak berkelanjutan.

Pada saat banyak perusahaan semakin besar dan semakin kaya pada saat itu pula semakin banyak orang miskin dan semakin rusak lingkungan sekitarnya. Karena itu muncul pula kesadaran untuk mengurangi dampak negative ini.
Kita sedang berhadapan dengan dunia yang tidak adil dan tidak seimbang. Pada saat ini hanya 20 persen penduduk dunia yang menikmati begitu banyak manfaat atas kekayaan alam dan hasil bumi. Mereka menikmati 85 persen pengeluaran dunia untuk konsumsi, menikmati 45 persen daging yang dikonsumsi, 65 persen listrik, menggunakan 84 persen kertas, menggunakan 85 persen logam dan bahan kimia namun menghasilkan 70 persen emisi gas karbon dioksida di seluruh dunia. Sangat tidak adil. Kesemua konsumsi ini merupakan peluang pasar yang lebih besar dinikmati mereka namun menimbulkan dampak negatif yang diderita masyarakat kecil.

Jika negara dan perusahaan swasta besar digabung sebagai kekuatan ekonomi dunia maka dari 100 kelompok ekonomi dunia 51 dikuasai swasta sedangkan 49 dikuasai negara termasuk negara-negara besar, adikuasa dan industri maju. Jika sepuluh negara besar dikeluarkan dari daftar ini maka kekayaan 200 perusahaan besar dunia melebuihi kekayaan semua negara lain di dunia ini. Laba sebuah perusahaan Microsoft tahun 2003 mencapai hampir Rp.274 trilyun padahal APBN Indonesia tahun 2004 berjumlah Rp. 341 trilun.
Ketidak-adilan ini menimbulkan ketidakpuasan bahwa globalisasi hanya menguntungkan pihak yang kuat dan kaya. Kekuasaan dan penguasaan atas sumberdaya alam serta kekayaan ada di tangan di perusahaan multinasional yang bisa mendikte negara lain (baik negara maju maupun negara miskin) sehingga negara tertentu bisa kehilangan kedaulatan atas sumberdaya alam bahkan kehilangan kebebasan dan kedaulatan negaranya serta meningkatkan ekploitasi tenaga kerja dan turut memperbesar degradasi sumberdaya alam.

Semakin banyak muncul ketidakpuasan bahkan kemarahan di kalangan rakyat sebuah negara karena kekayaan alamnya dikuasai perusahaan asing atau perusahaan multinasional. Melihat tekanan yang semakin besar oleh perusahaan (corporation) multinasional pada negara muncul pertanyaan apa yang bisa dibuat oleh perusahaan multinasional? Apa tanggung jawab mereka atas lingkungan dan masyarakat sekitar?
Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), dan Corporate Citizenship (CC). Corporate Social Responsibility (CSR) adalah pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Corporate Citizenship (CC) adalah cara perusahaan bersikap atau memperlihatkan perilaku ketika berhadapan dengan para pihak lain sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.

Corporate Citizenship juga menyangkut pada masalah pembangunan social (social development) dan dilakukan pada konteks partnership dan tata kelola (governnance. Prinsip ini memperhatikan pembangunan masyarakat, perlindungan dan pelestarian lingkungan untuk keberlanjutan lingkungan dan membantu memperbaiki kualitas hidup manusia. Corporate citizenship ini dilakukan melalui manajemen internal yang lebih baik, membantu memberikan bantuan sumberdaya untuk pembangunan sosial dan kemitraan dengan masyarakat bukan bisnis dan masyarakat luas.
Dengan meningkatnya peran swasta antara lain melalui pasar bebas, privatisasi dan globalisasi maka swasta semakin luas berinteraksi dan bertanggung jawab serta memiliki tanggung jawab sosial dengan masyarakat dan pihak lain. Didalam ekonomi moderen peranan pemerintah semakin berkurang tidak terkecuali dalam hal pelayanan publik. Pelayanan publik yang dulu dikuasai pemerintah kini diambil alih swasta dengan manajemen dan kualitas yang lebih baik. Namun tentu saja harus dibayar dengan lebih mahal oleh publik untuk mendapatkan kualitas yang baik.

Tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya dalam bidang pembangunan sosial dan ekonomi tetapi juga dalam hal lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui tiga pilar utama dalam corporate citizenhip adalah keuangan, social dan lingkungan. Tentu saja perusahaan swasta harus bekerja sama dengan pihak lain dalam hal ini pemerintah dan masyarakat (termasuk ornop, parta politik dan masyarakat luas).

Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Teori, konsep dan prinsip CSR memang menarik bagus dan lengkap tetapi apakah dapat dilaksanakan? Tanggung jawab soaial perusahaan tidak bisa hanya pada perusahaan industri yang menghasilkan dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Tetapi juga sektor keuangan atau financial seperti lembaga keuangan bank dan bukan bank. Persoalannya banyak industri yang merusak lingkungan, melanggar HAM, melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak sering bertahan dan berkuasa dengan tetap menerima kredit dari perusahaan-perusahan keuangan yang kuat dan berkuasa di dunia. Motivasi mencari laba bisa menghambat keinginan untuk membangun masyarakat dan lingkungan sekiarnya. Sejauh ini kebijakan pemerintah untuk mendorong dan mewajibkan perusahan swasta untuk menjalankan tanggung jawab sosial ini tidak begitu jelas

Bahan Bacaan:
Anderson, S. and J. Cavanagh. 2000. Top 200: The Rise of Corporate Power. Institue for Policy Studies.
Koestoer, Y. 2004. Corporate Citizenship: Corporate Social /Environment Responsibility. IBL Jakarta. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Para Mitra Yayasan Ford Bidang Pembangunan dan Lingkungan. Ciawi 28 - 31 Maret 2004. Prasetayantoko, A. 2004. Menanti Tanggung Jawab Sosial Sektor Finansial di Indonesia. The Business Watch Indonesia-Widya Sari Press. Solo.
Tanaya, J. 2004. Tanggung Jawab Sosial Korporasi. The Business Watch Indonesia-Widya Sari Press. Solo.
The World Bank Institute. 2004. Corporate Social Responsibility and Sustainable Competitiveness. Module-1. CSR Main Concepts.
The World Bank Institute. 2005. The Corporate Governance and Corporate Social Responsibility program. Learning Materials.

CSR SUDAH DIANJURKAN SEJAK 1400 TAHUN YANG LALU

28 Februari 2007

Masyarakat dan dunia usaha baru ramai membicarakan dan melaksanakan CSR setelah David C. Korten pada abad ini menuangkan pemikiran tentang pentingnya tanggung jawab social kepada masyarakat dan lingkungannya sehingga dengan CSR tersebut diharapkan akan dapat terjadi kehidupan yang saling bersinergi dan memeratakan kesejahteraan.CSR sebagai Kewajiban tanggungjawab sosial Perusahaan, di Indonsia santer lagi dikumandangkan bahkan dituntut oleh masyarakat sekitarnya setelah era reformasi, karena keberadaan Perusahaan tersebut dinilai tidak memperhatikan masyarakat dan lingkungannya.

Bagaimana CSR di Perum Jasa Tirta I (CSR-PJT I)?Bagi dunia pendidikan tak dapat dipungkiri bahwa PJT I dianggap sebagai laboratorium raksasa, karena lebih dari 300 mahasiswa tiap tahun baik dari dalam maupun luar negeri memanfaatkan PJT I sebagai tempat praktek kerja lapangan, mengambil desertasi program Doktor, tempat riset bagi mahasiswa dan para ahli dan calon Profesor dari luar negeri. Dengan keterbukaan PJT I terhadap dunia pendidikan, hal tersebut merupakan wujud dari CSR PJT I.Bagi pengusaha kecil, menengah dan Koperasi serta Murid dari orang tua yang kurang mampu, dengan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) telah lebih dari 1000 pengusaha kecil, ratusan murid dari keluarga kurang mampu telah dibantu oleh PJT I.

CSR bukan hal yang baruKarena pada 14 abad yang lalu : Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw bersabda: Barang siapa memberi sebesar biji kurma dari usahanya yang halal, maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kananNya, dan akan memberikan balasan kepada yang memberi sedekahnya dengan tangan kananNya, dan akan memberikan balasan kepada yang memberi sedekah dan menambah tabungan/rejekinya sampai setinggi gunung (HR. Bukhari Muslim)Dengan Good Corporate Governance (GCG) untuk mengupayakan usaha yang halal serta pemberian sedekah baik berupa uang sebagai modal kerja, kesempatan belajar, dan lainnya, merupakan bentuk CSR, yang oleh Allahtelah dijanjikan balasan rejekinya setinggi gunung.Alhamdulillah, dengan CSR-PJT I telah mendapatkan rejeki selama 17 tahun dengan kinerja sehat AA, banyak mendapatkan kepercayaan apresiasi dari luar negeri dan mulai tahun 2006 diberi tambahan teman kerja baru “Balai Besar” sebagai fungsi Developer, sehingga diharapkan dapat bersinergi dan memperkuat keberadaan PJT I, semoga!! (Pak Har)

Unilever: CSR, adalah cara kami menjalankan bisnis

06 February 2007

Lebih 70 tahun mengembangkan usaha di Tanah Air, PT Unilever Indonesia terbukti melakukan corporate social responsibility (CSR) yang sesungguhnya. Melalui Unilever Peduli Foundation (UPF), perusahaan raksasa ini tak sebatas memberikan hibah dana melalui CSR. Itu karena Unilever justru menjadikan CSR salah satu alat mengembangkan usahanya, selain memang disadari adanya keharusan sebuah kegiatan bisnis mengembalikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat luas. Berikut ringkasan wawancara dengan General Manager Unilever Peduli Foundation, Okti Damayanti.

Melaksanakan CSR tak sekedar membagi dana, apa yang sebenarnya dilakukan?Unilever, melalui UPF tak akan hanya memberi uang. Banyak pihak yang sebatas memberi bantuan lalu mengklaim telah melaksanakan CSR. Bagi kami, CSR harus bermanfaat buat masyarakat luas sekaligus menjadikan perusahaan lebih kompetitif. CSR is our way of doing business (CSR adalah cara kami menjalankan bisnis). Karena menjadi cara, konsep CSR kami harus berkait dan saling menguntungkan antara masyarakat dan perusahaan. Jangan CSR dilakukan untuk menutupi dosa perusahaan. Karenanya kami mengelompokan aktivitas CSR menjadi tiga bagian utama, kegiatan kemasyarakatan, kegiatan berkait dengan operasi perusahaan dan bahkan kami menjadikan masyarakat salah satu mata rantai usaha Unilever.

Contohnya?Ada program Jakarta Green and Clean. Ini jelas CSR yang penuh idealisme. Juga kami melakukan kampanye penanggulangan AIDS dan ajaran mencuci tangan yang benar, misalnya. Kami juga mengader masyarakat untuk tahu dan sadar kebersihan lingkungan. Juga ada pembinaan petani kedelai hitam. Apa urusannya kami dengan AIDS? Kalau itu pertanyaannya, rasanya salah. Sebab kami peduli terhadap generasi muda bangsa ini. Melalui kegiatan media and school campaign, donasi dan menjelenggarakan acara anak muda, sebagai contohnya, terbukti CSR kami bisa bermanfaat banyak. Kami gunakan Close Up sebagai media kegiatan tersebut. Dengan tagline brani ngomong, brani buktiin kami terbukti bisa mengajak lebih 70.000 anak muda di empat kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta) komit untuk memerangi AIDS. Dengan memakai Kecap Bango kami berhasil membina petani yang menggarap lebih 600 hektar kedelai hitam hingga mengontribusikan sekira 30 persen kebutuhan produksi kecap Bango. Banyak lagi yang lain.

Jadi CSR Unilever, harus berujung pada keuntungan perusahaan?Bukan begitu melihatnya. Justru sebaliknya. Kami harus ikut membangun bangsa, menciptakan lapangan pekerjaan dan kesempatan berkarya bagi rakyat. Hasilnya dapat kami beli, misalnya. Soal kedelai hitam, Unilever bisa saja impor. Selesai, kami bisa memenuhi kebutuhan produksi. Tapi kami ingin menciptakan kesempatan petani berkarya dan hasil panennya kami tampung untuk memenuhi kebutuhan bahan dasar kecap. Kami menjalankan CSR bukan semata memberi dana. Tapi CSR adalah justru kegiatan yang menguntungkan rakyat sekaligus dapat menciptakan keuntungan bagi perusahaan. Kalau hanya memberi bantuan pasti ada batasnya. Saat perusahaan krisis, CSR berhenti. Ini tidak, perusahaan justru dibangun dan besar bersama rakyat. Kami menerapkan coporate social leadership responsibility.

Mana program yang lebih dikembangkan?Kami sudah menyentuh masalah social, economy, environment bangsa ini. Kami menyebutnya SEE. Maka CSR kami adalah proyek jangka panjang, sama dengan cita-cita membuat perusahaan ini tetap ada dan besar. CSR bukan media promosi. Kalau itu hanya akan jangka pendek. Sebab dengen CSR justru akan membuat perusahaan tak sebatas populer, tetapi dicintai masyarakat karena berbuat banyak bagi mereka. Pendeknya, strategi CSR kami adalah adanya relevasni dengan kebutuhan bangsa, menjadi model, dan dikembangka dengan kemitraan serta akhirnya akan terus direplikasikan kepada masyarakat lebih luas.Apa bisa program besar CSR Unilever itu dikerjakan mandiri?Tidak mungkin bisa. Karena itu kami selalu mengandeng pihak lain yang memiliki kepedulian sama. Karena dari strategi kami yang berupa konsep diatas kertas itu kami harus bisa mengimplementasikan dimulai dengan bermimpi besar, namun memulai dengan yang tepat guna, yang akhirnya pasti akan mudah menjadi model hingga replikasinya cepat berkembang.(bid)

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=281556&kat_id=439
http://kecap-bango.blogspot.com

Tuesday, June 19, 2007

Indosat Raih Penghargaan Selular Award 2006


Jumat, 13-04-2007 *cw 06
MedanBisnis – Medan

Layanan M-Banking dan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Indosat dianugerahi penghargaan Selular Award 2006. Masing-masing untuk kategori Best Operator for M-Banking Services dan Best CSR. Penghargaan ini diberikan sebagai bagian dari komitmen bersama antara Majalah Seluler, MARS (lembaga riset independen), dan MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) untuk mengembangkan industri telekomunikasi di Indonesia. “Anugerah Selular Award ini merupakan bentuk pengakuan terhadap komitmen Indosat untuk terus berinovasi dan memberikan layanan terbaiknya bagi masyarakat,” demikian disampaikan Direktur Indosat, Johnny Swandi Sjam, kepada wartawan, kemarin.Johny menjelaskan, untuk kategori CSR (kepedulian sosial kepada masyarakat) dalam ajang kompetisi ini dinilai berdasarkan 4 parameter, yaitu kuantitas (banyaknya pelaku usaha melakukan kegiatan tersebut), kualitas (nilai atau bobot dari setiap kegiatan), manfaat (dampak program tersebut bagi masyarakat), dan tidak berupa sumbangan atau seremonial belaka. Penghargaan Best CSR diberikan kepada Indosat, khususnya program CSR sepanjang tahun 2006 yang difokuskan pada bidang pendidikan dengan tema Indonesia Belajar. Dengan salah satu program unggulan yaitu ajang kompetisi Indosat Wireless Innovation Contest (I-WIC) dan berbagai program pengembangan pendidikan lain seperti beasiswa pendidikan, pembangunan sekolah unggulan di Aceh, serta program pembinaan guru IPA yang diharapkan akan menghasilkan modul panduan praktikum bagi guru IPA tingkat SMU.“Penghargaan ini memiliki arti penting bagi Indosat. Tidak hanya menjadi bukti kepercayaan konsumen terhadap jasa layanan Indosat, namun juga menjadi motivasi bagi kami untuk terus meningkatkan kinerja, inovasi dan kualitas layanan kepada pelanggan, serta partisipasi aktif perusahaan untuk membangun masyarakat dan bangsa”, tambah Johnny.

Telkomsel Operator Telekomunikasi Terbaik

Selasa, 10-04-2007

MAKASSAR, Upeks--Telkomsel mendapat predikat sebagai Operator Of Year untuk kategori tertinggi gabungan industri telekomunikasi selular dan fixed wireless di ajang Selular Award 2007, sebagai penghargaan terhadap kiprah Telkomsel sepanjang tahun 2006 dalam memandu perkembangan industri telekomunikasi Indonesia.

Predikat itu semakin lengkap dengan diraihnya Tiga kategori lain, yakni Best Multimedia Services, Best Postpaid GSM, dan Best GSM Operator. Penghargaan Selular Award merupakan apresiasi terhadap pelaku industri telekomunikasi (Operator dan Principal Handset) atas prestasi dan performasi mereka sepanjang 2006. Pemenang diperoleh berdasarkan polling lembaga riset independen MARS bekerjasama dengan Majalah Selular yang dilakukan pada lebih dari 1.000 responden di Tujuh wilayah di Indonesia yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, dan lainnya. Telkomsel berhasil meraih Empat dari Sembilan award kategori operator Best Multimedia Services, Best Predpaid GSM, Best Postpaid GSM, Best Customer Care Operator, Best Operator for m-Banking Services, Best GSM Operator, Best CDMA Prepaid, Best CDMA Operator, dan Best Operator of The Year sebagai penghargaan Best Of The Best. Sementara untuk kategori ponsel ada Lima, yakni Best Design Phone, Best Camera Phone, Best Music Phone, Best PDA Phone, dan Best CDMA Phone, serta kategori Best CSR (Corporate Social Responsibility).

Ajang bergengsi di Indonesia itu dihadiri kalangan industri telekomunikasi di tanah air, mulai dari operator, vendor, pemerhati telekomunikasi, media, hingga regulator, termasuk dalam hal ini Dirjen Postel yang diwakili Basuki Yusuf Iskandar. Menurut Manager Corporate Communications Telkomsel, Suryo Hadiyanto, penghargaan itu merupakan hasil dari suatu proses panjang dari upaya Telkomsel dalam memberikan yang terbaik bagi pelanggan, lingkungan bisnis, dan bangsa Indonesia. Keterlibatan langsung masyarakat sebagai pemilih menjadikan penghargaan itu sebagai representasi kenyataan di lapangan, dimana ditengah pasar industri telekomunikasi yang kian kompetitif ditambah dengan hadirnya beberapa operator baru. Telkomsel semakin mengokohkan diri sebagai pemimpin pasar sekaligus memandu industri telekomunikasi untuk selalu siap menyongsong perkembangan teknologi terbaru dan menghadirkan layanan telekomunikasi standar kelas dunia bagi masyarakat Indonesia. “Di tengah persaingan industri telekomunikasi yang semakin ketat, Telkomsel sangat berorientasi pada kepuasan pelanggan, yang sama artinya dengan membangun sebuah kepercayaan. Penghargaan ini menggambarkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap produk dan layanan Telkomsel. Kepercayaan tersebut harus kami jaga dengan selalu berupaya memberikan yang terbaik, sehingga ke depan Telkomsel tetap menjadi operator pilihan utama masyarakat," jelasnya, sebagaimana rilis yang diterima Upeks, Senin (9/4).

Saat ini Telkomsel telah dipercaya melayani lebih dari 50% pengguna ponsel di Indonesia dengan jumlah pelanggan 38 juta atau meningkat lebih dari 1.450 kali lipat dalam 12 tahun. Tingginya angka pengguna ponsel yang mempercayakan layanannya kepada Telkomsel dikarenakan produk-produknya relatif dapat memenuhi Lima parameter kebutuhan pokok pelanggan dan calon pelanggan, yakni jaringan yang luas, kualitas jaringan yang handal, kelengkapan fasilitas produk dan inovasi, kenyamanan pelayanan purna jual, dan tarif yang wajar. "Dalam hal menghadirkan kenyamanan berkomunikasi Telkomsel telah menggelar lebih dari 16.000 BTS atau 100 kali lipat dalam 12 tahun. Telkomsel berpandangan bahwa jaringan yang luas harus didukung ragam teknologi canggih termasuk 3G. Sehingga memungkinkan untuk mengimplementasikan beragam inovasi layanan nilai tambah bagi pelanggan", ungkapnya. Penghargaan Selular Award ini melengkapi penghargaan yang diterima Telkomsel dalam tahun ini yakni Top Brand Award for KartuHALO dan simPATI serta Service Quality Award for GraPARI Telkomsel, selain berbagai penghargaan lainnya baik tingkat nasional maupun internasional yang telah diterima Telkomsel atas prestasi dan pencapaiannya.

Daftar Pemenang Selular Award 2007 Kategori Operator
1.Best Multimedia Services: Telkomsel
2.Best Postaid GSM: KartuHALO (Telkomsel)
3.Best Prepaid GSM: Bebas (Excelcomindo)
4.Best Customer Care Operator: Excelcomindo
5.Best Operator for m-Banking Services: Indosat
6.Best GSM Operator: Telkomsel
7.Best CDMA Prepaid : Fren (Mobile-8)
8.Best CDMA Operator: Flexi (Telkom)
9.Best Operator of The Year: Telkomsel

Kategori Ponsel
1.Best Design Phone: LG KG800 (Chocolate)
2.Best Camera Phone: Nokia N93
3.Best Music Phone: Sony Ericsson W850i
4.Best PDA Phone: Dopod 838 Pro
5.Best CDMA Phone: Nokia 6275i
Best CSR (Corporate Social Responsibility): Indosat