Beragam kegiatan CSR dari unit industri maupun opini CSR di Indonesia. Files ini dikompile guna literatur dan benchmarking kegiatan CSR, agar bisa mempositioning-kan kegiatan CSR secara berbeda, focus dan efektif. CSR bagaimanapun penting perannya bagi sustainability perusahaan karena dengan CSR perusahaan mempertimbangkan kepentingan stakeholder (pemegang kepentingan) dalam kebijakan operasionalnya.

Wednesday, June 27, 2007

Corporate Social Responsibility Bukan Kedermawanan

Pemangku kepentingan perusahaan bukan hanya pemegang saham.
Setelah menelorkan Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM), kini sebagian anggota Komisi VI (Bidang BUMN, Industri, dan Perdagangan) masih punya pe-er. Mereka kini tergabung dalam Pansus UU Perseroan Terbatas (UU PT). Pansus ini juga diisi oleh anggota Komisi XI yang membidangi Anggaran, Keuangan, dan Perbankan.

UU PT yang sedang mereka siapkan merupakan bakal UU yang akan memperbarui UU Nomor 1 Tahun 1995. “Saat ini masih dibahas oleh Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi,” ungkap anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Yudo Paripurno. Yudo menyampaikannya menjelang rapat tertutup Pansus, Senin (7/5). Rapat tertutup tersebut membahas rencana studi banding ke Thailand dan China.

Ada hal yang menarik dalam RUU PT ini. Selain Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) maupun modal minimal, tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) adalah bahasan yang tak kalah pentingnya. Aria Bima menilai CSR tak hanya sekadar kedermawanan sebuah perusahaan. “CSR ini memang benar-benar kewajiban,” ungkap anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).

Yudo mengamini pendapat Aria. “Ibaratnya, CSR itu hukumnya bukan sunnah lagi. Melainkan, fardhu.” Yudo melanjutkan, jika perusahaan tidak menerapkan CSR, bisa dikenai sanksi. “Bisa dalam bentuk peringatan, hingga pencabutan izin usaha.”

Aria mengingatkan, dalam kondisi ekonomi yang makin mengglobal, pemangku kepentingan (stakeholder) sebuah perusahaan bukan hanya pemegang saham (shareholder). “Lebih luas lagi, stakeholder adalah masyarakat dan lingkungan.” Ia mengaku geram karena masih banyak perusahaan yang mengaku telah bertanggung jawab kepada masyarakat, namun merusak lingkungan juga. “CSR tak sekadar community development, bangun jalan, sekolah, atau rumah sakit.”

Menurut Aria, sebuah perusahaan kudu menerapkan CSR mulai dari proses awal produksi. “Harusnya dari hulu hingga hilir,” tukasnya. Aria mencontohkan usaha furnitur. Jika perusahaan tersebut mengambil bahan baku dari penebangan ilegal (illegal logging), perusahaan tersebut belum bertanggung jawab. Aria mencontohkan kebocoran limbah sebuah pabrik di Bekasi, kasus Buyat, serta Lapindo.

Lebih jauh lagi, dampak buruknya akan menimpa perusahaan itu sendiri. “Perdagangan internasional sudah mewajibkan produk berlabel CSR. Jika tidak bersertifikat CSR, atau ketahuan perusahaan tersebut mengambil bahan baku dengan merusak lingkungan, produknya bisa ditolak,” tutur Aria.

Aria juga berharap, industri keuangan semisal perbankan juga memasukkan kriteria CSR dalam seleksi kelayakan kredit. Jika sebuah perusahaan ingin memperoleh kredit dari perbankan, perusahaan tersebut kudu sudah melakukan CSR. Saat ini kelayakan kredit kan hanya dilihat dari bagusnya laporan keuangan. Baik Aria maupun Yudo mengakui, penggodokan RUU PT ini masih panjang. “Masih akan kami bahas dengan Pemerintah. Ini masih awal. Perlu perincian di setiap pembahasan,” ujar Yudo.

Saat ini anggota Pansus berencana studi banding ke beberapa negara. Di antaranya, China dan Thailand. “Kenapa produk negara-negara tersebut bisa diterima oleh pasar dunia? Tentu karena sudah menerapkan CSR,” ungkap Aria.

Kita tunggu, jangan sampai ada kasus Lapindo, Newmont, atau Freeport yang lain.

No comments: