Beragam kegiatan CSR dari unit industri maupun opini CSR di Indonesia. Files ini dikompile guna literatur dan benchmarking kegiatan CSR, agar bisa mempositioning-kan kegiatan CSR secara berbeda, focus dan efektif. CSR bagaimanapun penting perannya bagi sustainability perusahaan karena dengan CSR perusahaan mempertimbangkan kepentingan stakeholder (pemegang kepentingan) dalam kebijakan operasionalnya.

Wednesday, June 27, 2007

CSR LEARNING FORUM – 2ND WORKSHOP

Hari, Tanggal : Kamis, 3 Mei 2007
Waktu : 12.30 – 17.00 wib
Tempat : Jade Room, Hotel Nikko – Jakarta
Attendance List : (terlampir)
Narasumber : 1. Fachry Mohamad, CEO SmartFM
2. Mas Achmad Daniri, Mirror Committee Social
Responsibility
Moderator : St. Notobudhiharjo, Indonesia Business Links
Fasilitator : 1. Bayu Aji Wicaksono, Daya Dimensi Indonesia
2. Triatmoko , Daya Dimensi Indonesia

I. Pembukaan:
Learning Forum kedua dibuka oleh Yanti Koestoer, Direktur Eksekutif Indonesia Business
Links (IBL). Dalam pidato pembukaannya, Yanti menyatakan bahwa latar belakang
kegiatan ini merupakan rangkaian program kajian bersama yang diadakan 10 kali atas
dukungan Ford Foundation dan perusahaan-perusahaan mitra IBL. Dalam
kesempatannya mendukung acara tersebut, ke-41 mitra IBL berkesempatan juga untuk
mensosialisasikan kegiatan CSRnya. Dikatakan oleh Yanti bahwa mitra IBL yang peduli
dengan kehidupan sosial melalui program CSR tidak bicara hanya mengenai donasi saja
tapi sesuatu yang terkoordinasi dengan baik melalui praktek-praktek yang sehat, yang
dikenal sebagai ungkapan ‘bisnis dengan hati’.

Berkaitan dengan topik forum tersebut, yaitu mengadopsi ’CEO Values’ dan
menurunkannya kedalam ’policy settings’, Yanti mengatakan bahwa penting meninjau
definisi CSR itu apa untuk menurunkannya kedalam sebuah policy. CSR tidak sekedar
charity, namun ada elemen-elemen lain yang misalnya mencakup environment dan
sosial justice. Untuk itulah diadakan Learning Forum ini agar terjadi interaksi antara
sesama praktisi CSR dalam memberikan referensi yang akurat bagi kalangan bisnis dan
masyarakat.

Akhirnya dokumentasi dari serial Learning Forum ini akan dibukukan kedalam 4 buku
dibidang ’environment’, ’human capital’, ’strengthening local economies’ and ’social
cohesion’. Buku pertama dari rangkaian 4 buku tersebut telah selesai dicetak; berjudul
”Membumikan Bisnis Berkelanjutan”.

II. Sesi Panel:
Sesi Panel dimoderatori oleh Stephanus Notobudhiharjo, Deputi Direktur Indonesia
Business Links. Noto mengawali dengan memperkenalkan sekaligus menceritakan
pengalaman kedua pembicara, yaitu Fachry Mohamad yang merupakan CEO SmartFM
Network sekaligus juga Presiden Direktur PT Polyama Belleprima dan Anggota

2
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia. Diterangkan bahwa Fachry akan
menjelaskan apa dan bagaimana ‘policy settings’ di SmartFM Network dapat
dilaksanakan dalam praktek CSR. Mas Achmad Daniri adalah Ketua National Mirror
Committee Social Responsibility (NMCSR), Ketua Komisi Nasional Kebijakan Governance,
Ketua Komite Tetap Good Corporate Governance di KADIN dan Ketua Focus Group Study
Governance dan Akuntansi di ISEI, sekaligus juga merupakan Wakil Direktur Panasonic
Manufacturing Indonesia. Mas Achmad Daniri juga merupakan penulis buku “Konsep
dan Penerapan ‘Good Corporate Governance’ dalam konteks Indonesia.” Diterangkan
bahwa Mas Achmad Daniri akan menjelaskan mengenai ISO 26000.

a. Presentasi I: Fachry Mohamad, CEO SmartFM
Fachry mengawali presentasinya dengan menjelaskan latar belakangnya membuka
SmartFM Network. Dari rakyat yang menurutnya sudah begitu ingin menikmati hasil
tapi lupa berproduksi sampai bagaimana sebuah bisnis dapat melakukan perbuatan yang
baik bagi masyarakatnya, maka Fachry mendasari pembukaan radio SmartFM diluar dari
hanya perkiraan-perkiraan bisnis. SmartFM pertama kali dibuka di luar Jakarta, yaitu
Menado kemudian ke Banjarmasin dan dilanjutkan ke Palembang, Balikpapan dan Jawa.
Semua ini dilakukan dengan niat baik untuk memberikan yang terbaik bagi proses
pemintaran/pembelajaran rakyat Indonesia. Menurut Fachry di saat memberi yang
terbaik, mudah-mudahan mendapatkan yang terbaik, sehingga ungkapan bisnis adalah
’good things take times’ dan bisnis merupakan pekerjaan yang memberikan kehidupan
yang lebih baik bagi orang lain, menjadi motto Fachry menjalankan bisnis. Menurut
Fachry bangsa kita harus menjadi bangsa pembelajar dan media harus bisa menjadi
mediator dari proses pembelajaran ini, sehingga dalam menyampaikan beritapun media
harus arif dan bijaksana melalui pengungkapan fakta dan data yang mendukungnya.
Radio adalah wadah superior yang sering ditangani oleh kelompok inferior. Sedangkan
frekuensi adalah ranah publik dan dipinjamkan kepada pengusaha radio makanya harus
dikembalikan dengan baik juga ke publik. Tapi sayangnya frekuensi diperjualbelikan,
walaupun keadaan ini juga disebabkan oleh UU PT yang tidak mengatur akan frekuensi
sehingga jika PT diakuisisi, frekuensi juga ikut terjual.

Menurut Fachry, Stakeholders kehidupan seseorang adalah Tuhan, manusia dan alam,
dimana ketiganya memiliki eksistensi hak dalam hidup kita. Oleh karena itu bisnis,
sosial dan ibadah adalah suatu senyawa yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan
jika dilakukan secara sinergi maka akan menghasilkan bisnis yang diberkahi dan
berkelanjutan.

Filosofi SmartFM yang tertuang dalam tagline ”Spirit of Indonesia” adalah sifat dan
semangat memberikan segala sesuatu yang terbaik bagi Indonesia melalui kapasitasnya
sebagai radio swasta niaga yang menjadi media informasi yang baik, benar dan
membelajarkan. Disamping itu menjadi penghubung berbagai pihak yang ingin
memajukan bangsa Indonesia melalui program-program yang mencerdaskan intelektual,
emosional dan spiritual.

SmartFM memiliki visi menjadi jaringan radio yang dapat menjangkau seluruh
Indonesia, berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dan menjadi inspirasi bagi
media lainnya. Sedangkan Misi SmartFM adalah bertindak profesional dan
bertanggungjawab dalam menjalankan amanahnya, memberikan value dan benefit bagi
kepentingan pembelajaran masyarakat, sekaligus menjadi perusahaan yang sehat
dengan tata kelola yang baik sehingga menjadi panutan bagi perusahaan media yang
bervisi sama. Dalam menjalankan visi dan misinya menjadi jaringan radio, SmartFM

3
membuka kesempatan bagi radio lain untuk mengambil program SmartFM namun radio
tersebut harus mempunyai visi dan misi yang sama, dan didalam radio tersebut harus
memiliki 60% program lokal. Menurut Fachry, Radio secara bisnis harus menganut
paham localwide bukanlah nationwide.
Prinsip-prinsip SmartFM adalah tidak hanya menjadi perusahaan yang meraih
keuntungan saja tanpa memperhatikan aspek sosialnya, karena menurut Fachry
kesuksesan perusahaan tidak dapat dinilai hanya dari pencapaian bisnis melainkan juga
kemampuan memberdayakan masyarakat disekitarnya. Menurut Fachry, Sinergisitas
Bisnis dan Sosial merupakan CSR perusahaan karena melalui pencapaian profit yang
sepantasnya melalui pengejawantahan visi, misi dan prinsip bisnis SmartFM maka pada
gilirannya nanti SmartFM akan menjadi perusahaan yang kuat dan bermanfaat bagi
masyarakat.

SmartFM sebagai media sosialisasi praktek CSR memberikan manfaat berupa wadah
pembelajaran dan penguatan CSR bagi masyarakat, menjadi mitra sinergik bagi
perusahaan-perusahaan yang melakukan praktek CSR dengan memberikan ruang
publikasi atas program-program CSR-nya maupun space iklan, dan sebagai mitra
advisor yang strategis dalam PR marketing suatu perusahaan. SmartFM juga
memberikan harga spesial bagi perusahaan yang ingin mempublikasikan praktek
CSRnya tapi dengan persyaratan perusahaan tersebut bukan perusahaan rokok dan
tidak bermasalah dengan lingkungan atau yang saat ini sedang dalam penanganan
hukum.
Radio merupakan salah satu media strategis untuk mempublikasikan praktek CSR jika di
kemas dengan baik sesuai dengan target audiensinya. CSR disebuah media
memberikan informasi, pencerahan dan merangsang masyarakat untuk mempunyai
kepedulian terhadap masalah sosial korporasi yang dapat mendatangkan apresiasi dan
partisipasi masyarakat disekitarnya.

Di SmartFM, sebuah berita yang dapat ’on-air’ dimulai dari Noise-data–informasiknowledge-
wisdom; jangan hanya berhenti di ’noise’ tapi sebisanya berhenti di ’wisdom’.
Kenyataanya yang sering terjadi di media ’noise’ tetap ’noise’ karena belum cukup data
pendukung tapi tetap ’on-air’. Di Smart FM menganut prinsip bahwa berita harus
menjadi kearifan bagi orang lain, mengurangi ketidakpastian dan menambah
pengetahuan.

SmartFM juga melakukan praktek CSR off-air seperti UKM, Smart Student, Klinik UKM,
dan seminar motivasi.
Presentasi diakhiri dengan kesimpulan oleh moderator bahwa SmartFM dalam
melakukan praktek CSR-nya menganut paham proses pemintaran dan kearifan.

b. Presentasi II: Mas Achmad Daniri, Chairman dan Maria D. Nurani, Expert -
Mirror Committee Social Responsibility
Mas Achmad Daniri mengawali presentasinya dengan menjelaskan apa itu National
Mirror Committee Social Responsibility (NMCSR), yaitu merupakan komite bayangan dari
ISO yang berada di tiap-tiap negara anggota ISO yang menggalang masukan dan
mensosialisasikan mengenai ISO 26000 di negaranya masing-masing. Forum inilah
yang menggalang masukan-masukan dari sumber-sumber yang relevan di Indonesia
yang akan dibawa ke forum di level berikutnya.

4
Daniri juga menceritakan pengalamannya sewaktu ikut dalam pemilihan wakil Gubenur
Banten, dimana salah satu agendanya adalah CSR. Pada saat itu jika terpilih maka akan
ada satu unit yang menangani kemitraan dengan pengusaha dan masyarakat sehingga
yang tahu CSR juga tidak hanya perusahaan tapi dari pemerintah pun harus memahami
dengan baik. Melalui unit ini dilakukan ’mapping’ permasalahan kebutuhan
masyarakatnya untuk diinformasikan kepada perusahaan-perusahaan. Daftar dari
proyek itu diserahkan kepada masing-masing perusahaan yang akan dikemas oleh
perusahaan sesuai kebutuhan perusahaan. CSR menurut Daniri adalah upaya
perusahaan untuk memberikan dampak (ekonomi, lingkungan dan sosial) positif bagi
masyarakat yang intinya terjadi pembangunan yang berkelanjutan. CSR bagi
perusahaan merupakan tantangan. Ibarat 2 mata pisau, maka secara internal praktek
CSR harus mengkaitkan program untuk keuntungan dan keberlanjutan yang dapat
memberikan image positif bagi perusahaan dan secara eksternal dapat menciptakan
manfaat positif bagi masyarakat. Menurut Daniri, jika praktek CSR tidak dilakukan
dalam kondisi yang ’win-win’ , maka perusahaan akan berubah menjadi lembaga
’charity’ dan ini tidak boleh terjadi karena perusahaan dan masyarakat harus tetap
’hidup’.

Dalam ISO 26000 ada 7 isu yang berkaitan satu sama lain dan tidak boleh memberikan
dampak negatif terhadap isu lainnya. Daniri memandang CSR sebagai potensi yang
besar karena jika dilakukan bersinergi dengan pemerintah dan lembaga sosial maka isu
misalnya mengenai pengentasan kemiskinan bukanlah suatu isu yang susah dan bisa
dicapai jika berintegrasi.

Presentasi dilanjutkan oleh Maria D. Nurani dengan menjelaskan lebih detail mengenai
ISO 26000.
ISO adalah lembaga nirlaba yang mengembangkan berbagai international standards.
Mereka dikenal puncaknya setelah meluncurkan ISO 9000. Keanggotan ISO
berkolaborasi dengan lembaga terkait isu yang akan di standardkan berupa Negara yang
diwakili oleh badan standar masing-masing. Indonesia diwakili oleh Badan Sertifikasi
Nasional (BSN).

ISO 26000 merupakan standar internasional yang memberikan ‘guidance’ atas tanggung
jawab sosial. ISO 26000 berbeda dari ISO lainnya karena ISO 26000 ini tidak
menyediakan standarisasi manajemen dan tidak memberikan sertifikat kepada pihak
ketiga. ‘Guidances’ dalam ISO ini tidak diperuntukkan hanya untuk perusahaan tapi juga
untuk badan usaha lainnya seperti yayasan, universitas, dan lainnya.
Cakupan dari ISO 26000 ini antara lain untuk membantu organisasi-organisasi
menjalankan tanggung jawab sosialnya; memberikan ‘practical guidances’ yang
berhubungan dengan operasionalisasi tanggung jawab social; identifikasi dan pemilihan
stakeholders; mempercepat laporan kredibilitas dan klaim mengenai tanggungjawab
sosial; untuk menekankan kepada hasil performansi dan peningkatannya; untuk
meningkatkan keyakinan dan kepuasan atas konsumen dan ‘stakeholders’ lainnya;
untuk menjadi konsisten dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan
standarisasi ISO lainnya; tidak bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam
menjalankan tanggung jawab sosial oleh suatu organisasi; dan, mempromosikan
terminologi umum dalam lingkupan tanggung jawab sosial dan semakin memperluas
pengetahuan mengenai tanggung jawab sosial.

Yang mengembangkan ISO 26000 ini adalah ‘expert’ dari 6 kategori stakeholders, yaitu:
Konsumen, pemerintah, buruh, industri, LSM, dan servis/support/riset. Keanggotaan

5
dari ISO Working Group ini adalah ‘expert’ anggota ISO dalam bentuk badan nasional
standardisasi, juga organisasi yang disebut ‘liason organisation’. Organisasi
internasional yang relevan dapat mengajukan nama untuk menjadi ‘liason’. Komite yang
exist untuk ISO 26000 juga dapat mengajukan 2 representatives per-komite.
Tugas National Mirror Committee Social Responsibility (NMCSR) adalah membagi
dokumen dan mensosialisasikan sekaligus meminta input dari siapapun mengenai ISO
26000. Yang ingin memberikan masukan dapat menyampaikannya kepada para expert
di NMCSR.

Dalam ISO Working Group untuk tanggung jawab sosial ini sering dipertanyakan
mengenai ’balanced stakeholder’ seperti apa. ISO membuat representasi yang
seimbang di tiap negara dan ada ’task group’ yang membahas bagian tertentu dari draft
ISO 26000, kemudian juga ada yang dinamakan Twinning leadership dimana
anggotanya dari negara maju dan negara berkembang sehingga kepentingan masingmasing
Negara dapat diakomodasi. Keputusan juga dilakukan dengan konsensus
dimana jika ada dua pendapat yang bertentangan maka keduanya harus memberikan
argumen yang kuat dan jika sesuai dengan standard, sebisa mungkin diadopsi kedua
pendapat ini.

Saat ini NMCSR ada di stage 2 (penyusunan working draft ISO 26000. Ada tiga working
draft) 2 draft sudah dibahas dan satu lagi keluar akhir juli. Waktu di stage 2 ini
merupakan kesempatan terakhir bagi expert secara individual memberi komentar
sebelum masuk ke Komite draft dimana konsensus tersebut dilakukan oleh Badan
Sertifikasi Nasional setiap negara. Rencananya NMCSR akan mengadakan focus group
discussion per stakeholder tertentu (mis. perusahaan dengan perusahaan) untuk
membahas isu-isu yang penting dalam ISO 26000. Draft working group ketiga akan
dibahas pada november 2007 dan tahun 2008 akan membahas komite draft, dan
diharapkan selesai akhir tahun 2009.

Spesifikasi desain ISO 26000 antara lain terdiri dari ’Normative Reference’ yaitu untuk
memahami ISO secara normatif, ‘Terms and Definitions’ menjelaskan mengenai
terminologi kata, sedangkan SR context menjelaskan sejarah dan konteks tanggung
jawab sosial di masing-masing organisasi seperti apa. Yang masuk kedalam ‘guidance’
saat ini masih bernuansa bisnis karena yang memulai adalah bisnis, jadi dalam SR
context harus ‘applicable’ jika digunakan oleh non-perusahaan. Prinsip-prinsip dalam
ISO 26000 diidentifikasi kedalam prinsip umum, prinsip substansi menyangkut isu dan
prinsip operasional menyangkut prosesnya.

Ketujuh isu yang tercakup dalam ISO 26000 adalah isu dibidang lingkungan, hak asasi
manusia, ketenagakerjaan, tata kelola organisasi, konsumen, community
involvement/pengembangan sosial (kemungkinan akan diganti menjadi social
development), dan fair operating services. Mengapa isu ini digambarkan dalam suatu
lingkaran, karena jika salah satu isu saja dilakukan maka akan bolong. Dengan bentuk
ini maka semua isu harus dijalankan walaupun dengan tingkatan yang berbeda.
Definisi terakhir mengenai ISO 26000 yang dirumuskan pada saat pertemuan di Sydney
mengalami penajaman, yaitu: “Tanggung jawab sosial merupakan dampak dari
keputusan dan kegiatan suatu organisasi bagi masyarakat dan lingkungannya melalui
prilaku yang transparan dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan ekspektasi dari stakeholdersnya,
sejalan dengan hukum yang berlaku dan norma-norma sikap, dan juga terintegrasi
kepada keseluruhan organisasi.”

6
Dalam Task Group (TG) membahas per-bab working draft, yaitu isu prinsip (TG 4),
implementasi (TG 5&6). Karena kita melihat kalau dipisah setelah di satukan tidak
sejalan maka kita satukan dengan disebut ‘core issue group’, yaitu isinya lintas TG yang
masing-masing membahas 4 isu (ada beberapa isu yang disatukan, yaitu isu tata kelola
organisasi & fair operating service, hak asasi manusia&ketenagakerjaan,
konsumen&pengembangan sosial). Tim ini telah bekerja setalah pertemuan di Sydney.
Hasil dari TG akan dibahas lebih lanjut di Issue Group.
Presentasi diakhiri dengan kesimpulan dari Notobudhiharjo selaku moderator yaitu agar
CSR dilakukan secara kondisi win-win agar berkelanjutan sekaligus semakin
dipahaminya apa dan bagaimana ISO 26000.

C. Tanya jawab:
T: CSR itu sebaiknya in-line dengan bisnis atau berbeda? (S. Wimbo Hardjito, Indosat).
J: Menurut pendapat saya, CSR itu harus melihat kebutuhan masyarakat dan bukan
dilihat dari sudut perusahaan. Kemudian kebutuhan tersebut dikemas sedemikian rupa
agar memberikan manfaat eksternal dan internal. (Mas Achmad Daniri).
Menurut saya setiap organisasi bertanggungjawab karena memberi dampak atas setiap
keputusan dan kegiatannya yang dilakukannya, jadi praktek CSR akan in-line dengan
kegiatannya. (Maria D. Nurani).

T: Kalau dilihat dari guidelines ISO 26000 tidak ada ratifikasi dan standarisasi
manajemen. Bagaimana meminta perusahaan untuk mau mengikuti peraturan tersebut
sedangkan peraturan yang ada ’legal binding’ saja kadang tidak dipatuhi. Apa strategi
yang dilakukan oleh NMCSR? (Dedi Nurfalaq, Indonesia Business Links).
J: Saya ingin menjelaskan dalam konteks pengalaman beberapa perusahaan. Masalah
ini merupakan masalah budaya perusahaan dimana prinsip-prinsip yang ada menjadi
’code of conduct’ dalam sebuah perusahaan. Bagaimana dapat diimplementasikan?
Pertama membangun partisipasi yang luas secara internal sehingga terjadi ownership
yang tinggi. Namun ownership saja tidak cukup, diperlukan ’vessel blower system’ yaitu
bagian yang menampung laporan untuk menjadi pengawas bagi lingkungan internal dan
eksternal. Semua perangkat ini harus aktif dan dapat dikaitkan dengan ’reward dan
punishment’ yang akan menghasilkan sebuah kultur dalam perusahaan. Kalau dilihat
sebagai NMCSR, tugasnya adalah menggalang masukan untuk dimasukkan menjadi
’guidelines’ dan mensosialisasikannya secara efektif ke organisasi sekaligus
mengembangkan monitoring agar tanggungjawab sosial tersebut berjalan dengan baik.
(Mas Achmad Daniri).
Memang ada juga pendapat yang menginginkan ISO 26000 ini di sertifikasi dan suatu
saat nanti akan di standardkan. Tapi saya pribadi melihat suatu saat bisa jadi nanti
akan di standarkan jika ada permintaan pasar. (Maria D. Nurani).

T: Apakah ada pengalaman dari Bapak-bapak sekalian yang dapat menjadi
pembelajaran kami sehingga CSR tidak hanya menjadi sebuah ‘trend’ dan mengubah
CSR hanya imej menjadi bentuk nyata? (Triatmoko, Daya Dimensi Indonesia)
J: Dari pengalaman saya, saya justru berangkat dari ketidakmengertian apa itu CSR.
Yang saya tahu saya dipinjami frekuensi yang merupakan ranah publik. Imbauan saya,
perusahaan-perusahaan besar tidak hanya melakukan ‘charity’ tapi mensponsori
program-program yang bagus untuk masyarakat untuk lebih berpikiran maju. Jadi
kalau ingin disebut perusahaan itu besar dan bonafid, CSR perlu dilakukan termasuk

7
juga membangun masyarakat agar lebih pintar, begitupun yang dilakukan oleh media.
(Fachry Mohamad).
Di Panasonic ada suatu program kombinasi dengan program pendidikan dari Diknas
(Paket belajar). Program itu ditambahkan ’Life Skill’ dari Panasonic. Panasonic
mempunyai PAS (Panasonic Authorized Certification), dimana jika PAS di kombinasikan
dengan program pendidikan didaerah tersebut maka akan membuat masyarakat
semakin mandiri misalnya dalam keterampilan seperti ‘maintenance spare parts’.
Dampak bagi masyarakatnya maka akan menambah tenaga kerja sedangkan dampak
bagi Panasonic adalah masyarakat akan mengingat produk2 panasonic. (Mas Achmad
Daniri).

Isu konsumen juga akan diusung dalam ISO 26000 tersebut walaupun tidak terlepas
dari 6 isu lainnya. Untuk itu NMCSR mengajak partner IBL untuk memberikan masukanmasukan
dalam FGD yang akan dilakukan oleh NMCSR nanti. (Timotheus Lesmana,
NMCSR)

III. Sesi Diskusi Kelompok:
Sesi diskusi kelompok dibuka oleh Bayu Aji Wicaksono dari Daya Dimensi Indonesia,
sebagai fasilitator dengan menerangkan 5 pilar corporate citizenship yaitu Strengthening
Economy, Building Human Capital, Environment Protection, Corporate Governance dan
Social Concern&Cohesion. Dalam mengoptimalkan praktek CSR, ada 4 kerangka yang
dianut oleh IBL yaitu dimulai dari Leadership dan kemudian diturunkan menjadi Policy
Setting, Program Development, System Installation dan Measurement&Reporting.
Kelompok diskusi dibagi menjadi 2 kelompok dimana masing-masing kelompok
membahas 2 kerangka, yaitu Kelompok Environment&Human Capital, dan Kelompok
Strengthening Economis&Social Cohesion. Masing-masing kelompok akan menurunkan
kerangka-kerangka tersebut kedalam policy settings yang dipahami oleh perusahaan
masing-masing.

Setelah melakukan diskusi internal kelompok, masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil diskusinya sekaligus untuk mendapatkan masukan ataupun
pertanyaan.
a. Kelompok Strengthening Economics & Social Cohesion
Kerangka Strengthening Economics dipresentasikan oleh Maria R. Nindita, tim penulis
dari Universitas Trisakti. Dari hasil diskusi dapat diambil pembelajaran dari perusahaanperusahaan:
PT. Freeport Indonesia. Chairman dan CEO Freeport telah membuat ‘masterplan’
pembangunan jangka panjang termasuk ‘masterplan’ untuk komunitas di sekeliling
Freeport. Freeport menyumbang 1% dari penerimaan untuk kegiatan CSR melalui
program ‘partnership’ yang diatur oleh suatu lembaga pelaksana program kemitraan.
Disamping itu telah dikembangkan ‘trust fund’ (1juta US dollar per tahun sampai masa
tambang selesai) dan dibagi ke dua suku untuk pembangunan masyarakat tersebut
dengan cara mengambil ‘gain’ dari dana tersebut. Setelah semua kegiatan ini Freeport
juga melakukan monitoring dan evaluasi melalui konsultasi dengan lembaga pendidikan.

8
PT. Sucofindo. Sebagai BUMN, CSR policy settings telah diturunkan dari peraturan
menteri BUMN dimana 2.2% dari profit perusahaan di gunakan untuk praktek
pemberdayaan masyarakat (Community Development).
PT. Indofood Sukses Makmur – Divisi Bogasari: Policy Settings untuk praktek CSR di
Bogasari diturunkan dari nilai yang in-line dan off-line dengan core business-nya.
Kegiatan pengembangan sosial ekonomi yang dimasukkan ke dalam policy setting
perusahaan antara lain terlihat dari Program “Pro perak” yaitu program pemberdayaan
ekonomi rakyat dan ’partnership’ dengan pemda. Komitmen praktek CSR terasa tinggi
karena dipegang langsung oleh CEO Bogasari.
Tujuan dari pemberdayaan ekonomi rakyat antara Bogasari dan Freeport adalah sama
yaitu untuk membangun kemandirian masyarakat.
Kerangka Social Cohesion dipresentasikan oleh Mulya Amri dari URDI. Pembelajaran
yang dapat diambil dari perusahaan-perusahaan tersebut antara lain:
PT. Freeport Indonesia. Pada saat ada dana 1% dari Freeport ke masyarakat, pada
kenyataannya dana tersebut tidak terlalu berdampak positif karena masyarakat belum
siap mengelola uang tersebut. Untuk itulah akhirnya Freeport membentuk lembaga
yang terdiri dari badan musyarawarah dari DPRD. Walaupun demikian peningkatan
capacity juga masih diperlukan karena masih terdapat laporan yang masih belum
akuntabel, begitu juga dengan communication skill juga perlu ditingkatkan. Disamping
itu keputusan di level manajemen puncak juga merupakan hal yang prioritas. Hal ini
disebabkan keadaan ’neighbouring’ dengan masyarakat.

‘Social cohesion’ terkait dengan human capital, seberapa jauh kapasitas dari individu
dapat membangun kekuatan di masyarakatnya. Pastinya suku-suku di papua ini punya
’local values’ yang apakah sudah dimanfaatkan? Kemudian jumlah uang. Kalau
dikaitkan dengan social cohesion, jika terlalu besar justru tidak terbangun. Dengan uang
yang besar dan diserahkan kepada masyarakat mungkin modal human capitalnya tidak
terbangun mereka sudah tersuply dengan uang yang sendirinya sudah tersedia.
(Wicaksono Sarosa, tim penulis).

Policy dari ketiga perusahaan yang telah dipaparkan tersebut berbeda sumber
keputusannya (pemerintah, shareholders) - Jika Sucofindo sebagai BUMN ditentukan
oleh pemerintah untuk memberikan dana comdevnya dengan memakai PKBL Sebanyak
2% profit pertahun, sedangkan Freeport ditentukan oleh shareholders. Kemudian pada
kasus Freeport, orang papua cenderung ‘malas’ sehingga perlu diperhatikan cara untuk
mem’brainwash’ mereka agar mau bekerja. (Agus Pambagio, tim penulis)
Komentar:

Dalam program ’partnership’, dalam kenyataannya memang banyak sekali
proposal yang disampaikan oleh masyarakat, namun masih ada proposal
yang tidak layak. Untuk itu lembaga akan menolak sekaligus
membimbing kelayakan isi proposal tersebut. (Mindo Pangaribuan, PT.
Freeport Indonesia)

Policy settings yang kita bicarakan ini terkait erat dengan kondisi riil di
bangsa Indonesia, sampai yang non-regulated di bangsa ini. Ideal
karakteristik ataupun ideal kriteria yang akan disarankan kepada
masyarakat dalam sebuah buku , tetapi saya pikir fakta ini juga perlu

9
disinggung supaya kita tidak terjebak hanya bicara idealistik tapi
ujungnya juga tidak applicable. (Fauzi, ICRAF)
Apa yang dilakukan oleh Freeport yaitu menentukan besaran 1% dari
penerimaan pun mendapatkan tantangan. Kalau kita bicara ideal, bukan
hanya freeport yang menentukan karena kputusan tersebut tetapi
didalamnya ada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan tokoh
masyarakat. (Mindo Pangaribuan, PT. Freeport Indonesia).
a. Kelompok Environment & Human Capital

Hasil diskusi Kerangka Human Capital dipresentasikan oleh Fajar Nursahid, tim penulis
dari LP3ES. Pembelajaran diambil dari perusahaan-perusahaan:
Star Energy. Pada kasus Star Energy, Policy Settings CSR diturunkan secara 1).
‘external enforcement’ sebagai instruksi dari BP Migas selaku pengawas. 2) Normatif
dengan mengalamatkan isu pendidikan dan kesehatan sebagai praktek CSR yang
dilakukan, 3) Adanya mekanisme ‘Stakeholders meeting’ yang merumuskan isu/masalah
tersebut, dan 4) Adanya ‘policy improvement’ akibat realisasi di lapangan. ‘Policy
improvement’ timbul karena ada intermediaries yaitu pemda sebagai agen yang
melakukan tender program dengan ruang lingkup tanggungjawab terbatas hanya
dibidang administrasi tapi perusahaan tetap memeriksa aliran dana. Implikasinyanya
positifnya bisa auditable, 5) Policy juga tergantung figur manajemen, saat ini
manajemen dipegang oleh orang yang sangat sosial sehingga terbentuklah budaya
organisasi dengan perumusan point views dari ‘Bright Star Added Balance Values for
Stakeholders’ dimasukkan kedalam visi stakeholders.

Komentar:
T: Menyangkut Human Capital yaitu memberdayakan masyarakat local,
apakah ada kebijakan dalam perusahaan untuk mendahulukan
masyarakat local dimana perusahaan beroperasi? (Mindo Pangaribuan, PT.
Freeport Indonesia)
J: Mungkin ini hubungannya dengan tenaga kerja. Setahu saya HRD
sudah membuat policy seperti itu tapi kendalanya adalah produktivitas
sehingga kita mengurangi ’local content’. Tapi kenyataan ini pun
mengalami konflik lokal. (Aldian Fahri, Star Energy)
Masukan saja bahwa sebelum diberdayakan, masyarakat lokal perlu di
latih dulu sebelum mulai bekerja. Keadaan ini dapat mengurangi konflik
yang mungkin bisa saja terjadi (contoh proyek bandara di SuMut dimana
masyarakat lokal di latih dulu sebelum ikut menjalankan proyek
pembangunan bandara tersebut). (Agus Pambagio, tim penulis)

Kerangka Environment dipresentasikan oleh Chandra Panjiwibowo, tim penulis dari
ICRAF. Pembelajaran dari perusahaan sebagai berikut:
Gikoko Kogyo Indonesia. Dalam Gikoko diberlakukan Clean Development Mechanism
(CDM) yang dilatarbelakangi oleh isu pemanasan global dan perjanjian ‘Kyoto Protocol’
dimana Negara maju untuk menurunkan level emisi. Dari isu lingkungan berubah ke isu
bisnis bahwa dalam isu lingkungan ada nilai investasi tidak sekedar ’cost’ dan ada
’return value’ bagi mereka. Posisi Leadership akan sangat crucial menentukan CSR

lingkungan apakah dapat fokus dilakukan mengingat tantangan dari mekanisme ini juga
panjang dilakukan.
Komentar:
Dalam konteks CSR lingkungan, konsep 3R yaitu Reduce, Risk dan Recycle
bisa diterapkan. Ada jenis industri tertentu yang barang-barangnya dapat
diguankan ulang. Freeport pernah bekerjasama dengan LAPI ITB meriset
bahwa ‘tailing’ tidak beracun dan dapat digunakan untuk bahan
konstruksi. Saat ini di Papua sudah menggunakan ‘tailing’ untuk
pembangunan jalan. (Mindo Pangaribuan, PT. Freeport Indonesia)
Diskusi kelompok ditutup dengan kesimpulan oleh fasilitator, Bayu, dengan menyatakan
bahwa nilai motivasi dari CEO dan policy dari pemerintah untuk meng-counter waste
sudah terlihat dalam turunannya ke kerangka policy settings. Selanjutnya tim penulis
tentunya telah mendapatkan pengayaan melalui diskusi pembelajaran ini dan dapat
menjadi bahan bagi penulis untuk menerbitkan buku kedua.

No comments: